Reporter: Umar Idris | Editor: Umar Idris
Pengantar
Artikel opini ini telah terbit di Harian KONTAN, Senin 5 Mei 2014. Redaksi menerbitkan lagi di Kontan.co.id untuk menjangkau pembaca yang lebih luas. Opini Christianto Wibisono terbit rutin setiap Senin di Harian KONTAN. Selamat membaca.
Indonesia, Freeport, dan Century
Oleh Christianto Wibisono,
Pendiri Institut Kepresidenan Indonesia
Di tengah hiruk pikuk koalisi duet capres ke-tujuh dan cawapres ke-12 RI, maka berita tentang Freeport tidak membagi dividen tahun 2013 nyaris lewat. Ditambah lagi pada hari Kamis 2 Mei 2014, berita tampilnya Direktur Pelaksana Bank Dunia, Sri Mulyani Indrawati di depan sidang tipikor kasus Bank Century menyedot perhatian. Dan akan terus dinomorduakan oleh publik menjelang sidang di pengadilan Tipikor yang akan menghadirkan Wakil Presiden Boediono untuk memberikan kesaksiannya tentang bailout Century saat Boediono menjadi Gubernur Bank Indonesia.
Elite Indonesia selalu bertengkar satu sama lain, terkadang merugikan perjuangan kepentingan nasional karena pihak yang bersengketa, berkonflik, maupun bernegosiasi dengan kita menarik keuntungan dari “perpecahan internal kita”. Pada Konferensi Meja Bundar di The Hague, kita menerima pengakuan utang eks Hindia Belanda dibebankan kepada pemerintah baru RIS sekitar US$ 1,1 miliar yang baru akan dilunasi pada 1956. AS menjanjikan bantuan lunak kepada RI, maka RI rela membayar utang negara jajahan terbesar kepada negara bekas penjajah. Tidak ada negara lain yang mengalami nasib seperti Indonesia seperti itu.
Janji AS mirip “perjanjian Batutulis” yang tidak ditepati dan Indonesia hanya diberikan kredit untuk pembangunan pabrik semen di Gresik dan pupuk di Palembang. Setelah 12 tahun, Indonesia melakukan gebrakan nasionalisasi pada 1957 dengan menasionalisasi semua perusahaan Belanda dengan aneka dampaknya yang sangat membekas.
Misalnya karena pengambil alihan armada niaga KPM tidak dibarengi dengan kesiapan, maka hancurlah sistem logistik nasional. Pelayaran antar pulai Indonesia terbengkalai dan sejak saat itu bahkan hingga kini, biaya angkut dari Pontianak ke Jakarta lebih mahal dari Shanghai Jakarta. Ini merupakan pelajaran sejarah yang sangat berharga yang harus dipahami dan didalami oleh para capres yang bersaing merebut jabatan Presiden ke-7.
Adalah suatu ironi yang tragis bahwa untuk merebut Irian, Bung Karno berutang US $2,4 miliar untuk membentuk Angkatan Udara dan Angkatan Laut terbesar di belahan bumi Selatan. Tapi yang menikmati Irian Barat justru swasta AS bernama Freeport yang masuk langsung dengan investasi dan kontrak karya pertama menurut UU Penanaman Modal Asing (PMA) 1967. Kini setelah 47 tahun, tidak ada pembayaran dividen kepada semua pemegang saham, termasuk kepada Pemerintah RI.
Alasannya, volume penjualan tembaga dan emas yang lebih rendah karena kadar bijih yang rendah, gangguan operasi tambang, penurunan harga komoditas global, dan penggunaan arus kas untuk investasi sekitar US$ 1 miliar guna mendukung pengembangan tambang bawah tanah yang pada tahun 2017 dan selanjutnya akan menjadi tumpuan kegiatan penambangan PT Freeport Indonesia. Proyek ini akan memakan biaya investasi signifikan sekitar US$ 15 miliar selama sisa umur tambang.
Zakat fitrah
Meskipun tidak ada dividen , PT Freeport Indonesia telah membayar pajak dan royalti sebesar US$ 500 juta atau Rp 5,6 trilliun. Jumlah manfaat bagi Pemerintah Indonesia pada tahun 1992 - 2013 mencapai US$ 15,2 miliar; Pajak Penghasilan Badan US$ 9,4 miliar (sekitar 60%), Pajak Penghasilan Karyawan, regional, dan pajak pajak lainnya US$ 3,0 miliar, Royalti US$ 1,5 miliar, dan Dividen US$ 1,3 miliar.
Namun, yang masih perlu dijernihkan oleh Freeport adalah perbandingan empiris perusahaan sejenis di mandala global, apakah yang diterima oleh Indonesia itu wajar, atau berlangsung dalam kontrak yang “tidak seimbang” karena birokrat kurang mengantisipasi produk emas dan bahan mineral langka lain sehinga terjadi transfer dana sumber daya alam yang sangat menguntungkan kontraktor namun hanya menghasilkan pajak royalti yang minim bagi negara tuan rumah.
Sayang bahwa birokrasi RI saling bertengkar satu sama lain, juga eksekutif dan legislatif terkadang ingin menang sendiri, merasa hebat sendiri. Kemudian masing masing merasa “hero”, “pintar” dan bisa mendikte atau menuntut kontrak yang menurut sang birokrat sudah cukup menguntungkan RI.
Kita tidak pernah tahu apa dan siapa dan berapa transaksi Indonesianisasi saham Freeport yang dikuasai elite Jakarta. Sehingga tidak heran bila penduduk Papua merasa hanya kebagian pencemaran lingkungan dan dana corporate social responsibility (CSR) yang mirip derma zakat fitrah sekadarnya. Sementara arus deviden dan laba mengalir ke Jakarta dan mengalir ke negara bagian domisili Freeport di Amerika Serikat.
Masalah Century yang bersinggungan langsung dengan istana karena pelbagai aktor seperti Jusuf Kalla, Boediono, dan Sri Mulyani juga mengungkapkan betapa semangat Indonesia Incorporated itu tidak pernah ada dalam jiwa sanubari elite RI. Semua bagai piranha yang saling menghancurkan satu sama lain dengan liar ganas dan buas.
Memang mengherankan kalau Robert Tantular malah bertanya lo dia tidak pernah minta dana Rp 6,7 triliun dan jelas tidak pernah melihat atau menyentuh satu sen pun dari dana bail out itu. Begitu juga dua pemegang saham Arab dan Inggris yang sekarang menggugat di OKI dan ICSID.
Menyedihkan bahwa menjelang usia 70 tahun Republik ini kita masih saja bisa diadu domba bukan oleh Nica atau superpower tapi pemegang saham model Rafat, Warraq, Churchill bisa menggugat dan berpotensi menang serta mengalahkan Presiden ke-6 RI untuk dihukum ganti rugi gara gara elite saling tikam ala Ken Arok yang bertikai satu sama lain.
Aksi saling tikam ala Ken Arok ini membuat kita lupa persoalan sesungguhnya negara ini. Seperti masalah Freeport ini. Ataukah kebisuan para elite RI terhadap masalah Freeport karena mereka telah hidup dari perusahaan tambang ini? Semangat Indonesia Incorporated memang masih jauh dari harapan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News