Reporter: Siti Masitoh | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Lembaga kajian Next Policy memperkirakan, Indonesia sebagai anggota baru akan turut terdampak apabila Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menerapkan tarif perdagangan 100% ke anggota BRICS.
Indonesia sendiri baru bergabung ke BRICS sejak 6 Januari lalu. Negara kita masuk sebagai anggota baru bersama Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.
Peneliti Next Policy Muhammad Ibnu menyampaikan, kebijakan tarif impor 100% yang akan diberlakukan AS terhadap negara-negara BRICS harus menjadi perhatian serius.
“Kebijakan ini dapat menyebabkan oversupply di negara-negara BRICS, yang pada akhirnya bisa menjadikan Indonesia sebagai ‘pasar pembuangan’ bagi negara-negara dengan industri yang lebih matang,” ujar Ibnu dalam keterangan tertulisnya, Senin (10/2).
Baca Juga: Sikapi Kebijakan Perdagangan Trump, Indonesia Jaga Hubungan Dagang Seimbang dengan AS
Ibnu mempertanyakan relevansi dan urgensi keanggotaan Indonesia dalam BRICS. Hingga saat ini, pemerintah belum memberikan alasan yang jelas selain narasi politik bebas aktif dan diversifikasi mitra strategis. Padahal, situasi ekonomi domestik sedang tidak baik-baik saja.
Sejak tahun lalu, konsumsi rumah tangga terus melemah, terjadi deflasi selama lima bulan berturut-turut, dan tingkat penyerapan tenaga kerja dalam kategori buruh/pegawai masih di bawah 40,7%, angka yang pernah dicapai sebelum pandemi 2019.
“Selain itu, pemangkasan belanja pemerintah yang belakangan ramai diperbincangkan menambah tekanan terhadap perekonomian nasional,” ungkap Ibnu.
Lebih lanjut, ia pun menyoroti tren perlambatan pertumbuhan industri pengolahan yang terus menurun dalam tiga tahun terakhir yaitu 4,89% (2022), 4,64% (2023), dan 4,43% (2024). Sebagai sektor utama dalam PDB industri manufaktur, idealnya pertumbuhan industri pengolahan harus berada di atas 5% agar sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional.
“Indonesia belum bertransformasi menjadi negara industri, tetapi kontribusi sektor industri justru menyusut. Ini memperkuat indikasi deindustrialisasi dini yang semakin nyata,” tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Shofwan Al Banna Choiruzzad Associate Professor Hubungan Internasional Universitas Indonesia, menyoroti ketidakjelasan strategi pemerintah dalam keanggotaan BRICS.
“Belum jelas apa yang ingin dicapai pemerintah dengan bergabung ke BRICS, terutama karena arah kebijakan yang belum konsisten,” ungkapnya.
Baca Juga: Ancaman Trump Terhadap Negara-Negara BRICS Jika Gantikan Dolar AS
Dalam perspektif kebijakan industri, Made Krisna Y. W. Gupta, Ph.D., atau yang akrab disapa Imed, Ekonom FEB UI, menekankan perlunya strategi industri yang lebih progresif. Ia membandingkan kebijakan Indonesia dengan Tiongkok, yang mengalokasikan 5% dari PDB untuk subsidi industri.
“Industri Tiongkok berkembang pesat karena insentif besar, sementara di Indonesia, insentif bagi industri masih sangat terbatas,” katanya.
Menurutnya, pemerintah harus lebih fokus mengembangkan industri strategis yang memiliki potensi ekspor tinggi serta mampu mengurangi ketergantungan terhadap impor.
Selain insentif industri, Imed juga menyoroti pentingnya integrasi regional untuk memperkuat daya saing industri nasional. “Indonesia harus berperan lebih aktif dalam ekosistem industri ASEAN, mengingat potensi pasar yang besar dan masih dapat dikembangkan,” tambahnya.
Ia menegaskan bahwa pasca 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, dibutuhkan strategi kebijakan industri yang lebih jelas, konsisten, dan berpihak pada pertumbuhan industri lokal.
“Indonesia harus memanfaatkan keanggotaan BRICS untuk memperkuat rantai nilai industri global, bukan sekadar menjadi pasar bagi negara lain,” kata Ibnu.
Menurut Ibnu di tengah tren penurunan daya beli masyarakat, peningkatan daya saing industri lokal tidak akan terjadi secara otomatis. Dibutuhkan dukungan nyata dari pemerintah melalui kebijakan yang tepat, infrastruktur yang memadai, serta investasi dalam riset dan inovasi.
“Jika tidak, keanggotaan Indonesia di BRICS justru bisa menjadi beban yang memperlemah sektor industri nasional, alih-alih memperkuatnya,” tutup Ibnu.
Selanjutnya: Trump Sebut AS Mungkin Kehilangan Kesabaran dengan Kesepakatan Gencatan Senjata
Menarik Dibaca: 11 Tips Hidup Sehat untuk Mencegah Penyakit Diabetes Tipe 2
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News