Sumber: Antara | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Pengamat Internasional dari Par Indonesia Strategic Research, Jakarta Guspiabri Sumowigeno mengatakan Indonesia perlu mengajukan skema exit baik parsial, sementara, maupun permanen dari Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) untuk menjadi bagian cetak biru perdagangan bebas tersebut.
"Kesepakatan MEA bukan barang sakral. Mengingat Cetak Biru MEA masih belum 100% terbentuk," katanya di Jakarta, Selasa (24/11).
Menurut dia hal ini wajar saja, karena kerangka integrasi ekonomi yang demikian dalam dan luas seperti Uni Eropa juga memiliki opsi exit bagi setiap negara peserta. Apapun MEA, hanyalah kesepakatan politik antar negara yang pasti bisa dibatalkan bila dipandang perlu oleh para pihak didalamnya.
"Dengan memasukkan mekanisme exit dalam Cetak Biru MEA, Indonesia bisa melakukan evaluasi setiap tahun dan sekiranya ada sektor yang mengalami kemunduran hebat," katanya.
Untuk itu ia meminta pemerintah agar segera merancang langkah renegosiasi atau bahkan exit dari kerangka kesepakatan MEA secara parsial baik untuk sementara waktu maupun permanen. Kalau semua sektor terpuruk, tentu exit permanen harus menjadi opsi nasional.
Ia berharap satgas pengawas pelaksanaan MEA perlu dibentuk Presiden dengan kewenangan memonitor dan merekomendasikan respon. Pejabat yang merekomendasikan dan memutuskan kebijakan untuk menyertakan sektor yang kemudian terpuruk tersebut dalam kerangka MEA, perlu diperiksa oleh panel etik profesi PNS dan dimintai pertanggungjawaban.
"Tak ada seorangpun pejabat dan mantan pejabat perancang rekomendasi dan pengambil kebijakan dalam kerangka MEA yang boleh lepas dari tanggungjawab profesional maupun politik," jelasnya.
Dikatakannya negara lain bisa tertarik untuk mendukung opsi exit, karena MEA akan disaingi oleh kerjasama ekonomi Trans Pacific Partnership (TPP).
TPP awalnya beranggotakan Amerika Serikat, Australia, Brunei, Kanada, Chili, Jepang, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura dan Vietnam.
Belakangan Filipina, Thailand dan Indonesia juga ingin bergabung dengan TPP. Tak lama lagi, 7 dari 10 negara ASEAN: Malaysia, Brunei, Singapura, Vietnam, Filipina, Thailand dan Indonesia bergabung dengan TPP.
Akibatnya interaksi ekonomi antar 7 negara anggota MEA menjadi tumpang tindih dengan interaksi sebagai anggota TPP. Hubungan ekonomi antara 7 negara ASEAN itu akan direpotkan oleh regulasi yang berbeda antara MEA dan TPP. Jika skema TPP lebih menguntungkan, skema MEA pasti akan ditinggalkan.
"Jadi opsi exit memang perlu ada," tegasnya.
Lebih lanjut ia mengatakan TPP yang merupakan inisiatif Amerika Serikat, juga sengaja tidak menyertakan China. Padahal China adalah partner dagang terbesar Indonesia. Kepesertaan Indonesia di TPP juga membutuhkan banyak energi diplomasi dan promosi.
"Apakah ada anggaran tambahan untuk itu," tanyanya.
MEA yang berlaku 1 Januari 2016, merupakan puncak prestasi kerjasama ekonomi ASEAN. Namun, tak ada anak tangga lebih tinggi untuk didaki, yang ada adalah jalan datar atau menurun karena hadirnya TPP.
"Kalau kecenderungannya ke arah sana, untuk apa lagi setiap instansi Pemerintah RI mengibarkan bendera ASEAN sama tinggi disamping bendera Merah-Putih," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News