kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.468.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Indef Sebut Potensi Perekonomian akan Menguntungkan Indonesia Jika Gabung OECD


Minggu, 17 September 2023 / 20:23 WIB
Indef Sebut Potensi Perekonomian akan Menguntungkan Indonesia Jika Gabung OECD
ILUSTRASI. Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD)


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia bertekad untuk bisa bergabung sebagai anggota organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).

Hal ini sejalan dengan keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang lebih memilih Indonesia untuk bergabung dan menjadi anggota OECD dari pada dengan BRICS (Brazil, Russia, India, China, and South Africa).

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto pun sepakat dengan keputusan Presiden Jokowi.

Menurutnya pilihan untuk bergabung dengan OECD lebih sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini, meskipun standarisasi kebijakan level negara-negara OECD masih menjadi tantangan yang perlu dikejar oleh Indonesia untuk bisa menjadi negara maju.

Baca Juga: Ekonom Beberkan Keuntungan Indonesia Bergabung dengan OECD Ketimbang BRICS

“Kalo konsisten dilakukan peningkatan standar ekonomi dan kelembagaan sesuai tujuan OECD, maka potensi untuk perekonomian ke depan akan menguntungkan,” tutur Eko kepada Kontan.co.id, Minggu (17/9).

Eko menilai, meskipun rasio gini di negara beberapa negara maju makin tinggi, seperti Amerika Serikat dengan posisi rasio gini dari 0,353 pada tahun 1974 menjadi 0,415 pada tahun 2019, begitupun kesenjangan di Jepang yang mencapai 0,5704 pada 2021.

Dia menilai, pilihan menjadi negara maju tetap akan lebih menguntungkan ketimbang tetap menjadi negara berkembang.

“Setimpang-timbangnya negara maju, secara umum tingkat kesejahteraan mereka lebih baik dari negara berkembang apalagi negara miskin. Jadi, tentu saja beda masalah ketimpangan di Amerika Serikat atau Jepang dengan di negara berkembang,” terangnya.

Eko juga menambahkan, tingkat kemiskinan antara negara maju dan negara berkembang juga berbeda. Di negara maju, kebutuhan dasar masyarakat sudah dicukupi oleh negara, sementara itu di negara berkembang berbeda.

“Menjadi negara maju bukan berarti sudah tidak ada masalah ekonomi lagi, namun bentuk tantangan ekonominya yang berbeda, dengan ukuran kesejahteraan yang lebih baik,” jelasnya.

Baca Juga: Indonesia Melobi Lima Pimpinan Negara Maju demi Masuk Keanggotaan di OECD

Senada, Direktur Center of Economi and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga menilai, banyak yang bisa dicontoh oleh Indonesia dari negara anggota OECD selain Amerika Serikat.

Seperti Denmark, Swedia, Belgia dan Finlandia yang ternyata berhasil mereduksi ketimpangan, dan akselerasi penurunan emisi karbon secara bersamaan dengan penerapan pajak yang tinggi bagi orang kaya.

“Amerika Serikat rasio pajaknya relatif kecil dibanding rata-rata negara OECD, jadi ketimpangannya lebar,” kata Bhima.

Selain itu, Indonesia juga bisa mencontoh Belgia yang rasio belanja perlindungan sosial terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup tinggi yakni mencapai 19% terhadap PDB pada 2022, sementara Indonesia masih sebesar 2,5% dari PDB. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×