Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyarankan supaya pemerintah tidak terlalu memaksakan diri untuk mengejar penerimaan pajak di tahun ini. Pasalnya, bila penerimaan pajak yang ditetapkan terlalu tinggi, hal ini akan berdampak pada pelaku usaha yang enggan berekspansi.
“Jangan sampai pelaku usaha lebih dikejar pajaknya. Kondisi di 2019 memang pelaku usaha hati-hati jadi jangan sampai target penerimaan pajak yang terlalu tinggi, dan pemerintah ngoyo untuk mencapai target itu membuat pelaku usaha menjadi tidak tertarik untuk berekspansi,” ujar Bhima.
Tahun lalu, penerimaan pajak sebesar Rp 1.315,9 triliun atau lebih rendah dibandingkan perkiraan pemerintah yang sebesar Rp 1.350,9 triliun dan lebih rendah dari target APBN yang sebesar Rp 1424 triliun.
Tahun ini, target penerimaan pajak ditetapkan sebesar Rp 1.577,6 triliun. Dengan begitu, penerimaan pajak harus tumbuh 19,8% dibandingkan realisasi tahun 2018.
Menurut Bhima, tingginya harga komoditas energi seperti minyak mentah dan batubara menjadi salah satu penunjang penerimaan pajak di tahun lalu. Bila dilihat dari sisi penerimaan sektoralnya, sektor pertambangan memang mencatat pertumbuhan penerimaan yang paling pesat.
Di 2018, pertumbuhan penerimaan pajak dari sektor pertambangan mencapai 51,15% dari pertumbuhan di 2017 yang sebesar 40,83%. Total penerimaan dari sektor pertambangan sebesar Rp 80,55 triliun atau menyumbang 6,6% dari total penerimaan pajak.
Bhima berpendapat, harga komoditas energi yang mulai menurun di tahun ini membuat shortfall pajak boleh jadi lebih tinggi dibandingkan 2018. “Pemerintah harus siap hadapi shortfall pajak yang lebih besar dari 2018,” ujar Bhima.
Sementara, penerimaan dari industri pengolahan yang menyumbang penerimaan pajak sebesar 30%, mencatat penerimaan sebesar Rp 363,6 triliun atau tumbuh 11,12% dibandingkan tahun 2017. Namun, pertumbuhan di 2018 lebih rendah dari 2017 yang sebesar 18,28%.
Menurut Bhima, pertumbuhan penerimaan industri manufaktur yang lebih rendah di tahun ini seiring dengan pertumbuhan manufaktur yang sekitar 5%. Pertumbuhan yang rendah ini dikarenakan meningkatnya bahan baku manufaktur sehingga berdampak pada biaya produksi.
Kenaikan harga minyak mentah pun menjadi beban karena ongkosnya menjadi lebih tinggi. “Permintaan produk manufaktur yang orientasi ekspornya kena perlambatan pertumbuhan ekonomi dan efek hambatan ekspor. Juga adanya perang dagang membuat kinerja ekspor sektor manufaktur sepanjang 2018 rendah,” tambah Bhima.
Lalu, penerimaan pajak dari sektor pertambangan sebesar Rp 234,46% atau berkontribusi sebesar 19,3% terhadap penerimaan pajak. Pertumbuhan penerimaan sektor perdagangan di 2018 sebesar 23,72%, lebih rendah dari pertumbuhan penerimaan 2017 yang sebesar 25,09%.
Sektor jasa keuangan mencatat pertumbuhan penerimaan sebesar 11,9% atau sebesar Rp 162,15 triliun. Lalu sektor pertanian sebesar Rp 20,69% tumbuh sebear 21,03%.
Meski shortfall pajak tahun ini mungkin lebih besar dari tahun lalu. Namun, Bhima berharap, perang dagang dapat mereda dan ekonomi global masih bisa tumbuh di atas 3,7%, lalu permintaan produk industri ke negara-negara alternatif masih bisa diandalkan.
Bhima pun mengatakan, salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah memberikan relaksasi pajak kepada sektor yang berorientasi eskpor, sehingga hambatan dari sisi tarif pajak dapat diturunkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News