kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Indef: Kenaikan tarif cukai rokok tak cukup untuk kejar target pemerintah


Kamis, 31 Desember 2020 / 16:40 WIB
Indef: Kenaikan tarif cukai rokok tak cukup untuk kejar target pemerintah
ILUSTRASI. Pedagang menunjukan merk rokok yang dijual di kios di kawasan MH.Thamrin, Jakarta, Kamis (10/12/2020). KONTAN/Fransiskus Simbolon


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah menegaskan bahwa kebijakan terkait dengan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 12,5% telah mempertimbangkan kondisi pandemi Covid-19 dan bisa menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan seputar Industri rokok yang selalu ada sampai saat ini. 

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan berdasarkan kajian yang dia lakukan, kenaikan tarif cukai tidak mampu mewujudkan 4 pilar yang telah ditargetkan Pemerintah.

Ia menilai, kenaikan cukai rokok dalam kondisi normal saja akan mengurangi keterjangkauan atau daya beli masyarakat, apalagi dalam kondisi pandemi COVID-19 seperti ini. Namun, berdasarkan asumsi yang dibangun Badan Kebijakan Fiskal (BKF), justru affordability mengalami kenaikan.

Baca Juga: Bantu IKM berkembang, Bea Cukai gencarkan asistensi fasilitas kemudahan impor

Selanjutnya keterjangkauan masyarakat terhadap harga rokok, dimana Indonesia menempati urutan ke 3 di Asia dan 12 di Asean, itulah yang kemudian menurut Enny harus menjadi pertimbangan pemerintah, bukan justru diabaikan.

"Dari dua data itu bisa disimpulkan harga rokok tidak bisa dikatakan murah, dan tingkat keterjangkauan masyarakat cukup jauh atau tidak mudah. Jadi artinya kenapa keterjangkauan ini penting karena kalau dikatakan mereka elastisitasnya, relatif elastis, maka mereka akan mencari substitusinya yang larinya ke rokok ilegal,” kat Enny dalam keterangan resminya yang diterima Kontan.co.id, Kamis (31/12).

Enny mengungkapkan, kedua hal itu yang menghubungkan apakah kenaikan CHT ini mampu untuk menekan prevalensi orang merokok atau tidak. Sebab apabila dikorelasikan dengan data beberapa tahun yang lalu ia merasa tidak ada kesinambungan.

“Nah artinya, saya gak bisa langsung menyimpulkan bahwa kenaikan CHT tidak mempengaruhi prevalensi, tidak. Tetapi berarti dari data ini kenaikan CHT bukan satu-satunya instrumen untuk menurunkan prevalensi rokok, itu pasti. Karena data bilang gitu,” imbuhnya.

Oleh karena itu, Enny menegaskan, kebijakan kenaikan tarif CHT ini tidak menjawab persoalan prevelensi rokok apalagi menjawab soal peningkatan penerimaan negara karena industri dihantam oleh kondisi pandemi. 

Baca Juga: Turun 15%, pendapatan negara baru capai Rp 1.423 triliun hingga November

“Justru mendorong peredaran rokok ilegal yang akan memperlemah kinerja industri yang ujungnya berdampak pada penyerapan tenaga kerja. Kalau 4 pilar itu tidak terjawab semua lalu kenaikan CHT ini untuk apa,” tukas Enny.

Hasil survei yang dilakukan oleh peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Brawijaya, Imanina Eka Dalilah, pun seperti menunjukkan hasil yang sama. 

Dia mengatakan persentase perokok usia dini tercatat jumlahnya terus meningkat sejak tahun 2013. Pada saat itu, jumlah perokok usia dini sebesar 7,2% dan meningkat menjadi 8,8% di tahun 2016. Kemudian kembali meningkat ke 9,1% di tahun 2018.

"Berdasarkan hasil survei menunjukkan sekitar 47% masyarakat perokok usia dini berasal dari kategori non miskin, dan 53% berasal dari pendapatan rendah," kata Imanina dalam acara webinar.

Hasil survei tersebut terjadi ketika pemerintah konsisten menaikkan tarif cukai rokok yang diikuti dengan tingginya harga rokok di tanah air. "Artinya, status ekonomi untuk perokok usia dini tidak ada gap yang terlalu besar, artinya siapapun anak usia dini, usia 10-18 tahun memiliki potensi untuk merokok di usia dini tidak berdasarkan status ekonominya," jelasnya.

Sebelumnya, Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jendral Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, dalam diskusi yang sama menyatakan bahwa dalam menerapkan kebijakan tarif bea cukai industri hasil tembakau ada beberapa pertimbangan yang dipikirkan paling tidak ada sekitar empat pilar.

Baca Juga: Penerimaan bea keluar moncer terdorong kenaikan harga sejumlah komoditas

Di antaranya adalah pengendalian konsumsi, karena seperti yang kita ketahui, prevelensi perokok anak antara umur 10 sampai 18 tahun itu sudah mencapai di angka 9,1%. Hal ini menandakan bahwa dari 100 anak sekitar 9 orangnya itu sudah merokok.

"Makanya itu di RPJMN itu jelas nanti di tahun 2024 ditargetkan dari 9,1% turun menjadi 8,7% itu dari segi pengendalian," ucapnya dalam kesempatan yang sama.

Kemudian pilar kedua adalah optimalisasi penerimaan negara, tambahnya, hal ini juga menjadi salah satu skema fiskal untuk mengendalikan konsumsi rokok. Kemudian yang ketiga dan tidak kalah penting adalah keberlangsungan Tenaga Kerja, kalau berbicara soal Tenaga Kerja hal tersebut juga menyangkut kepada kelangsungan industri.

"Lalu pilar yang terakhir adalah peredaran rokok ilegal, jadi 4 hal ini yang harus dipikirkan bersama-sama kemudian diramu. Jadi tidak hanya memikirkan pengendalian konsumsinya bagaimana lalu penerimaan negara juga tidak hanya memikirkan keberlangsungan tenaga kerja, bahkan pengedaran rokok ilegal," tegasnya.

Selanjutnya: Mengakhiri tahun 2020, ini pesan Sri Mulyani untuk jajaran Kementerian Keuangan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×