kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.926.000   -27.000   -1,38%
  • USD/IDR 16.520   -20,00   -0,12%
  • IDX 6.833   5,05   0,07%
  • KOMPAS100 987   -1,19   -0,12%
  • LQ45 765   1,61   0,21%
  • ISSI 218   -0,33   -0,15%
  • IDX30 397   1,17   0,30%
  • IDXHIDIV20 467   0,48   0,10%
  • IDX80 112   0,13   0,12%
  • IDXV30 114   0,08   0,07%
  • IDXQ30 129   0,38   0,29%

Implementasi UU Cipta Kerja di daerah dinilai masih belum solid


Selasa, 23 November 2021 / 13:14 WIB
Implementasi UU Cipta Kerja di daerah dinilai masih belum solid
ILUSTRASI. Massa buruh dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melaksanakan aksi . KONTAN/Fransiskus Simbolon


Reporter: Achmad Jatnika | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai implementasi UU Cipta Kerja di daerah masih menghadapi hambatan pada dimensi regulasi, kelembagaan, dan digitalisasi platform online.

Penilaian ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif KPPOD Armand Suparman dalam diskusi media bertajuk Sengkarut Implementasi Perizinan Berusaha Berbasis Risiko di Daerah (Hasil Kajian Persiapan dan Tantangan Penerapan OSS RBA di Daerah) yang digelar pada Selasa, (23/11) pukul 10.00 WIB.

Armand menilai peraturan-peraturan pemerintah sebagai turunan UU Cipta Kerja belum tampak solid dalam mendukung percepatan penerapan online single submission berbasis risiko (OSS RBA) di daerah.

Ia juga melanjutkan, bahwa Peraturan Pemerintah No. 05 tahun 2021 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko belum mengatur batasan dalam penerapan diskresi oleh Pemda dalam penerapan OSS RBA, masih terdapat jenis perizinan non-KBLI, non-berusaha non-KBLI, dan non-perizinan yang belum diatur dan Lampiran PP 05/2021 ini tidak mengatur jelas terkait syarat dan jangka waktu perizinan.

Armand mengungkapkan, persoalan regulasi pusat di atas berimbas pada bervariasinya respons kebijakan dan kelembagaan daerah dalam menerapkan OSS RBA. “Daerah-daerah yang masih menyusun atau merevisi Perda atau Peraturan Kepala Daerah, bersandar pada kebijakan lama sehingga business process dan desain kewenangan antara dinas (OPD) belum sepenuhnya mengikuti alur perizinan berbasis risiko,” tutur Armand.

Baca Juga: Daftar lengkap UMP 2022 DKI Jakarta, Banten, Jatim, Jabar, Yogyakarta, dan Jateng

Sedangkan pada dimensi digitalisasi, kendala utamanya adalah OSS RBA yang belum terintegrasi dengan paltform layanan K/L dan Pemda. “SIMBG, Gistaru, Amdalnet masih berproses secara terpisah dengan OSS RBA sehingga menciptakan kebingungan atau kegamangan di daerah, baik untuk pemda maupun untuk pelaku usaha,” jelasnya.

Lebih dari itu, Armand juga menilai, belum semua daerah memiliki Peraturan Kepala Daerah tentang rencana detil tata ruang (RDTR) dan RDTR berbentuk Digital. Kondisi ini menurutnya berpotensi mengganggu keberlanjutan lingkungan, sosial, dan tata kelola (bisnis proses perizinan berusaha).

Terkait kesiapan regulasi daerah, Analis KPPOD Sarah Hasibuan menjelaskan respons setiap daerah berbeda-beda. Ia mencontohkan Kota Medan yang baru menyiapkan Peraturan Walikota No. 26 tahun 2021 untuk mendukung pelayanan perizinan. “Namun peraturan daerah lainnya (terkait bangunan dan lingkungan) masih dalam tahap inventarisasi masalah dan pembuatan naskah akademis,” terangnya.

Sementara itu, di DKI Jakarta, menurut Analis KPPOD Michico Tambunan, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) sudah menerbitkan instruksi surat edaran dan pengumuman sebagai respons atas sistem OSS RBA.

Ia juga mengamati, bahwa DPMPTSP telah berkoordinasi dengan Biro Hukum terkait penyesuaian peraturan dan merevisi Pergub No.47 tahun 2017 tentang Petunjuk Pelaksanaan PTSP.

“DKI Jakarta sudah mengeluarkan ada 1.337 jumlah perizinan pasca berlakunya PP 5/2021; yang terbagi atas 53 persyaratan dasar seperti PBG, SLF, SKBG, Pemanfaatan Ruang, Persetujuan Lingkungan; 1.139 Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (Skala Risiko Menengah Tinggi dan Tinggi); serta 145 Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha,” jelasnya.

Senada, Analis KPPOD Ditha Mangiri juga mengungkapkan, Kota Surabaya sedang menyiapkan regulasi yang diperlukan untuk mendukung perizinan berbasis OSS RBA, antara lain dengan Peraturan Walikota No. 41 Tahun 2021 yang memuat kebijakan klasifikasi untuk perizinan berusaha dan pelayanan non perizinan.

Sedangkan di Kota Makassar, Analis KPPOD Edwin Ramda menuturkan, Pemkot sedang menyiapkan Ranperda Omnibus Law yang salah satunya memuat mengenai pelayanan perizinan berusaha di daerah. Menurutnya progres terakhir dari penyusunan kerangka regulasi tersebut menunjukkan bahwa naskah akademik telah diserahkan ke DPRD.

“Proses penyusunan RDTR di Makassar dalam proses penyusunan untuk beberapa kawasan, selebihnya sedang menunggu persetujuan DPRD. Mengalir dari informasi tersebut, dapat dikatakan bahwa Kota Makassar berada pada level kesiapan yang cukup baik pada tataran regulasi.” ungkap Edwin.

Selanjutnya: Realisasi Padat Karya Tunai Sudah Tembus 84,09%

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Cara Praktis Menyusun Sustainability Report dengan GRI Standards Strive

[X]
×