kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

IMF: Langkah pemerintah dan BI sudah tepat


Jumat, 30 Agustus 2013 / 13:27 WIB
IMF: Langkah pemerintah dan BI sudah tepat
ILUSTRASI. Deretan gedung-gedung perkantoran. KONTAN/Baihaki/9/9/2020


Reporter: Dyah Megasari |

JAKARTA. Pemerintah dan Bank Indonesia telah membuat langkah yang tepat dalam meredam dampak krisis global untuk jangka pendek. Namun, untuk jangka menengah, pemerintah harus membenahi masalah struktural agar daya tahan fundamental perekonomian menjadi lebih kokoh.

Penasihat Dana Moneter Internasional (IMF) untuk Asia Pasifik David Cowen mengemukakan ini dalam diskusi bertajuk Indonesia-Mengelola Norma Baru Global yang diselenggarakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) di Jakarta, Kamis (29/8/2013). Cowen memaparkan laporan terbaru IMF soal Indonesia kepada anggota Apindo.

Perubahan struktural tersebut mencakup reformasi iklim investasi, seperti masalah perburuhan, untuk bersiap menampung relokasi industri dari China dan negara lainnya ke Indonesia. Pemerintah juga harus memperluas basis pajak dan membenahi administrasi pajak untuk meningkatkan penerimaan.

Cowen menyarankan agar pemerintah mengurangi subsidi energi secara bertahap dan mengalihkannya untuk bantuan langsung tunai kepada kelompok miskin. Menurut Cowen, pemerintah sebaiknya mengarahkan anggaran untuk mengembangkan sistem jaminan sosial dan membangun infrastruktur.

Dalam kesempatan ini, Cowen menyoroti tingkat upah minimum Indonesia yang relatif sangat tinggi dibandingkan dengan negara lain. Menurut Cowen, hal ini turut memacu inflasi dan berkorelasi dengan tingkat produktivitas yang menentukan daya saing di pasar global.

”Indonesia memiliki suplai tenaga kerja yang banyak dan sebagian besar bekerja di sektor pertanian dengan produktivitas rendah. Harus ada reformasi struktural untuk mengalihkan mereka ke sektor bernilai tambah,” kata Cowen.

Upah buruh

Secara terpisah, Ketua Umum Apindo Sofjan Wanandi berharap Instruksi Presiden tentang pengupahan bisa menjadi solusi bagi industri. Menurut Sofjan, pemerintah harus menjaga tingkat kenaikan upah minimum provinsi selaras dengan upaya menjaga kesinambungan pekerjaan dan penciptaan lapangan kerja baru.

”Sekarang ini saatnya kita bersatu agar perekonomian Indonesia tidak semakin parah. Kita tetap ingin buruh sejahtera, tetapi jangan sampai kenaikan upah tidak masuk akal malah membuat industri tutup dan lapangan kerja berkurang,” kata Sofjan.

Direktur Eksekutif CORE Indonesia Hendri Saparini, dalam acara yang sama, mengatakan, seluruh komponen harus solid karena krisis kali ini memiliki pilihan jalan keluar yang lebih sedikit daripada tahun 1998 dan 2008. Liberalisasi berbagai sektor atas saran IMF sejak tahun 1998 membuat struktur ekonomi Indonesia berubah.

”Pada tahun 1998, kita tidak memiliki masalah defisit neraca perdagangan dan neraca berjalan yang sekarang terjadi. Masalah ekonomi sekarang adalah kesalahan kebijakan dan tata kelola,” kata Hendri.

Hendri menguraikan, pemerintah atas saran IMF meliberalkan sektor pertanian dengan mendorong impor dan mengurangi subsidi. Sektor pertanian nasional yang belum kokoh akhirnya kehilangan daya saing menghadapi produk impor yang murah dan masuk kapan saja.

Menurut Hendri, pemerintah mengabaikan sektor pertanian yang menampung sedikitnya 40 juta tenaga kerja sehingga menjadi penopang perekonomian nasional. Hendri meminta pemerintah sadar dan mau membenahi masalah struktural perekonomian di semua sektor.

”Bukan mengutak-atik kebijakan moneter dan fiskal semata. Harus ada perubahan yang mendasar karena penyebab inflasi terbesar adalah tahu, tempe, dan beras,” kata Hendri.

Sementara itu, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, saat berdiskusi dengan komunitas seniman di Yogyakarta, Rabu (28/8/2013) malam, mengatakan, Indonesia harus memiliki paradigma sebagai negara eksportir untuk mendorong perekonomian lebih maju. Ini untuk dapat memacu ekspor, mulai dari produk pertanian, manufaktur, hingga seni dan budaya.

”Paradigma swasembada agak salah parkir, harus berparadigma menjadi eksportir yang paling efisien,” ujarnya.

Gita menuturkan, Indonesia saat ini masih harus banyak mengimpor berbagai komoditas dari luar negeri. Ia mencontohkan, bawang putih harus diimpor setiap tahun karena hasil produksi di dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. (HAM/RWN/KOMPAS CETAK)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×