Sumber: Kompas.com | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Hiruk pikuk menuju Pemilihan Umum 2014 ternyata berimbas pada tampilan Ibu Kota dan sekitarnya. Spanduk, baliho, dan selebaran tentang calon legislator terpasang di mana-mana. Ironisnya, keberadaan iklan luar ruang ini dinilai kurang signifikan menggiring suara warga DKI Jakarta dan sekelilingnya pada pemilu nanti. Bahkan, iklan yang bertebaran justru telah merusak wajah kota.
Pemilu legislatif yang akan diselenggarakan pada 9 April 2014 semakin dekat. Para calon anggota DPR, DPRD, dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) berlomba-lomba menarik hati para pemilik suara. Salah satunya dengan memasang berbagai bentuk iklan di luar ruangan, seperti spanduk, baliho, poster, dan selebaran.
Hasil jajak pendapat yang diselenggarakan Litbang Kompas pada 22-24 Januari 2014 menunjukkan hal yang sama. Kampanye melalui iklan media luar ruang di Ibu Kota dan sekitarnya sangat diminati para calon legislator (caleg) untuk merebut suara pemilih. Sebagian besar responden yang berada di wilayah DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi (Jabodetabek) sudah sering melihat iklan caleg.
Lebih dari 70 persen melihat promosi jenis ini di lingkungan rumah mereka. Dari berbagai bentuk iklan bakal wakil rakyat, spanduk adalah bentuk iklan yang paling sering terlihat, diikuti dengan baliho dan poster.
Sayangnya, penempatan promosi sering tidak mengindahkan aturan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dua dari tiga peserta jajak pendapat melihat adanya lebih dari satu baliho seorang caleg di kelurahan atau desa mereka tinggal. Selain itu, banyak warga yang juga melihat reklame caleg di jalan protokol, tol, dan taman. Pepohonan, tiang listrik, dan tiang telepon juga tak luput korban ”paku” tempat tempelan promosi tentang calon wakil rakyat.
KPU sejatinya sudah menerbitkan aturan tentang iklan menyangkut pemilu. Berdasarkan Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2013, pemasangan alat peraga kampanye, termasuk iklan-iklan yang berada di luar ruangan, dibatasi agar tetap menegakkan asas keadilan.
Sesuai aturan, partai politik (parpol) boleh memasang sebuah baliho atau papan reklame hanya satu di setiap desa atau kelurahan. Papan reklame ini diperbolehkan memuat nomor, gambar, visi, misi, program, dan jargon partai politik. Foto yang diperbolehkan dimuat adalah potret pengurus partai politik yang bukan calon anggota DPR ataupun DPRD.
Calon anggota DPD juga dibolehkan memasang satu baliho untuk satu kelurahan atau desa. Selain itu, parpol dan caleg juga hanya boleh memasang satu spanduk dengan ukuran maksimal 1,5 meter x 7 meter di satu zona atau wilayah yang ditetapkan.
Peraturan ini secara jelas juga melarang pemasangan iklan dan sejenisnya di gedung-gedung pelayanan publik, seperti tempat ibadah, pusat pelayanan kesehatan, gedung-gedung milik pemerintah, dan sekolah. Promosi calon wakil rakyat juga tidak diperbolehkan ditempatkan di jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, taman, dan pepohonan.
Tidak berpengaruh
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebenarnya telah menertibkan reklame luar ruang para caleg, baik yang berbentuk baliho, spanduk, poster, selebaran, maupun lainnya, sejak awal Oktober 2013. Sudah banyak atribut caleg dan parpol yang diturunkan di sejumlah wilayah. Namun, iklan luar ruang para caleg terus muncul.
Di dalam konteks komunikasi, media luar ruang memang sering dianggap media komunikasi yang lebih efisien dari segi biaya. Media ini dinilai mampu menjangkau berbagai lapisan masyarakat karena tidak semua elemen masyarakat intens mengonsumsi media massa, terutama warga di daerah terpencil. Dari segi ukuran, semakin besar dimensi iklan, semakin tinggi pula harapan agar iklan ini dilihat sengaja ataupun tidak sengaja oleh masyarakat.
Jika dikaitkan dengan kampanye caleg, iklan media luar ruang ini bisa menyediakan tempat untuk memuat potret, logo parpol, dan slogan dari masing-masing caleg. Cara ini oleh para caleg tidak saja ditujukan untuk mendongkrak popularitas mereka, tetapi juga diharapkan memengaruhi pilihan masyarakat saat pemilu nanti.
Semakin bagus citra yang bisa ditampilkan lewat promosi ini, para caleg berharap peluang mereka untuk menang semakin besar. Tidak mengherankan jika iklan politik media luar ruang banyak dipakai caleg sebagai langkah awal memperkenalkan diri dan menumbuhkan citra yang baik kepada khalayak luas.
Namun, reklame yang sudah dipasang para caleg dinilai kurang optimal memainkan perannya. Desain baliho, poster, dan spanduk relatif tidak berbeda jauh satu sama lain. Kebanyakan masih menggunakan pendekatan iklan yang langsung menjual produk apa adanya saja. Biasanya reklame jenis ini memuat gambar, nama, dan nomor urut caleg.
Logo, jargon, foto ketua umum parpol sang caleg, tokoh parpol caleg yang populer, ataupun tokoh nasional yang ideologinya dianggap sama dengan parpol tak lupa dicantumkan. Warna latar belakang baliho ataupun spanduk disesuaikan dengan kelir logo partai mengingat identifikasi warna iklan diharapkan mampu menggiring suara masyarakat.
Reklame yang penuh logo parpol dan foto caleg ternyata hanya dilirik sekilas oleh warga. Lebih dari 60 persen warga di Ibu Kota dan sekelilingnya merasa tidak mengenal lebih dekat dengan para calon wakil rakyat meskipun menemukan promosi caleg di mana-mana. Mereka juga mengaku tak bertambah akrab dengan jargon, visi, dan misi yang dilemparkan oleh para caleg lewat papan-papan iklan.
Menurut para responden, iklan para caleg memuat kata-kata yang standar, tidak menarik, dan mengumbar janji. Pendek kata, reklame kurang persuasif.
Minimnya ketertarikan masyarakat berujung pada rendahnya kenaikan popularitas caleg yang sebenarnya berpotensi didongkrak lewat pemasangan iklan luar ruang. Mayoritas peserta jajak pendapat mengaku keberadaan iklan-iklan ini tidak bisa memengaruhi pilihan mereka.
Hal ini terjadi karena ketiadaan pertimbangan yang matang dalam pembuatan reklame, misalnya promosi yang dipasang tidak jelas ditujukan kepada siapa. Hasilnya, uang dan tenaga terbuang. Tambahan dukungan suara dari masyarakat pun akan kurang signifikan.
Merusak estetika kota
Kehadiran iklan para caleg tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga dinilai oleh sebagian besar peserta jajak berlebihan dan mengganggu. Lebih dari separuh responden mengungkapkan bahwa pemasangan promosi calon wakil rakyat yang dipasang sembarangan telah mengganggu pemandangan dan dianggap telah mengacaukan wajah Ibu Kota dan sekitarnya.
Sudut-sudut kota yang sudah penuh dengan kendaraan semakin sesak dengan hadirnya spanduk dan baliho caleg. Sejumlah warga Jabodetabek lainnya juga menyesalkan keberadaan reklame yang telah merusak pohon-pohon dan mengotori lingkungan.
Lalu, bagaimana cara merebut hati rakyat? Hampir seluruh responden menganggap komunikasi yang lebih efektif untuk menjangkau calon pemilih adalah dengan mendekatkan jarak antara caleg dan pemilik suara, yakni dengan cara menyambangi langsung para pemilik suara.
Iklan kampanye yang berjarak tidak akan mampu menyentuh masyarakat dan memenangkan hati mereka.
(Litbang Kompas/Susanti Simanjuntak S/KOMPAS CETAK)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News