Reporter: Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi
Sebagai penjaga stabilitas rupiah, Bank Indonesia (BI) berada di bawah sorotan akhir-akhir ini. Maklum saja, posisi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terus melemah hingga melampaui level psikologis: Rp 13.000 perdollar AS (USD).
Bank sentral memang tidak diam berpangku tangan. Berbagai regulasi disusun untuk menjaga dan memperdalam likuiditas di pasar keuangan domestik. Intervensi langsung di pasar pun dilakukan untuk membentengi rupiah. Namun, sejauh ini BI tidak kuasa menahan dampak spekulasi wacana kenaikan bunga The Federal Reserve (The Fed) yang memicu penguatan dollar AS terhadap hampir seluruh mata uang dunia.
Untuk mengurangi tekanan akibat kebutuhan USD misalnya, bank sentral menyempurnakan beleid soal transaksi lindung nilai. Di antaranya, dengan kewajiban menyertakan underlying bagi transaksi hedging. Tujuannya, agar kebutuhan perusahaan akan USD sudah bisa diantisipasi jauh-jauh hari. “Kalau sudah di-hedging, USD tidak harus mengalami kenaikan harga meski demand tinggi di pasar,” kata Direktur Komunikasi BI, Peter Jacob.
Kepala Divisi Tresuri Bank BCA Brankoe Windoe menengarai, aksi beli dollar AS yang dilakukan korporasi yang belum menggunakan hedging juga menyumbang pelemahan rupiah. “Perusahaan yang enggak hedging, ketika dollar AS naik langsung panik. Akhirnya menubruk dollar AS ke sana–ke sini,” kata Brankoe.
Berikutnya, mengawasi penggunaan rupiah dalam transaksi di dalam negeri lewat tim gabungan bersama pemerintah. Sejalan dengan Undang-Undang Mata Uang, dalam waktu dekat BI juga akan merilis peraturan Bank Indonesia (PBI) yang mewajibkan perusahaan di Indonesia, baik milik negara maupun swasta, untuk menggunakan rupiah di dalam negeri. “PBI-nya masih kami godok. Akan ada sanksi buat yang melanggar,” ujar Peter.
Strategi lain adalah penggunaan valuta setempat untuk perdagangan dengan China dan Korea Selatan (Korsel). Hal ini dimungkinkan melalui kerjasama bernama Bilateral Currency Swap Arrangement (BCSA).
BCSA antara BI dengan People’s Bank of China (PBC) ditandatangani 23 Maret 2009 dan diperbaharui pada 1 Oktober 2013. Kerjasama bertenor tiga tahun itu memungkinkan swap rupiah-renmimbi senilai total Rp 175 triliun atau RMB 100 miliar. Sementara itu, BCSA dengan Bank of Korea (BOK) ditandatangani pada 6 Maret 2014. Nilai fasilitasnya KRW 10,7 triliun atau Rp 115 triliun. Perjanjian BI-BOK berdurasi tiga tahun dan dapat diperpanjang.
Kerjasama ini bernilai strategis karena China dan Korsel adalah mitra dagang utama Indonesia. Per akhir Desember 2014, nilai perdagangan Indonesia-China mencapai US$ 48,23 miliar. Indonesia mencatatkan defisit perdagangan hampir
US$ 13,02 miliar. Sementara itu, nilai perdagangan Indonesia-Korsel hampir mencapai US$ 22,47 miliar. Defisit juga ditanggung Indonesia dengan nilai hampir US$ 1,23 miliar.
Tak perlu pakai USD
Jika skema ini digunakan, perusahaan Indonesia yang bermitra dengan perusahaan-perusahaan asal China maupun Korsel tidak perlu lagi bertransaksi menggunakan dollar AS. Hal yang sama berlaku sebaliknya. Importir dan eksportir bisa berdagang menggunakan mata uang setempat.
Potensi kerugian akibat selisih kurs pun bisa ditekan mengingat pergerakan kurs renminbi dan won lebih stabil dibandingkan nilai tukar dollar AS. Plus, pedagang barang impor dan produsen barang berbahan baku impor tak perlu menaikkan harga jual ketika rupiah letoy terhadap dollar AS.
Kenyataannya, kata Peter, fasilitas BCSA belum dimanfaatkan oleh pelaku usaha, baik di Indonesia, China, maupun Korea. Hal ini disebabkan oleh kedua belah pihak tidak bersepakat menggunakan mata uang lokal. Ketika bertransaksi dengan dollar AS lebih mahal, importir tentu senang menggunakan mata uang lokal. Masalahnya, eksportir justru ingin dibayar dengan USD.
Masih minimnya minat eksportir dan importir tecermin dari layanan kliring yang disediakan bank-bank nasional. Salah satunya di Bank BNI yang telah memiliki layanan kliring renminbi sejak 2013 silam.
Menurut Abdullah Firman Wibowo, hingga Desember 2014, trade finance berbasis renminbi yang dilayani BNI mencapai CNY 1,203 miliar, ekuivalen US$ 192 juta. Perinciannya, 448 transaksi ekspor senilai sekitar CNY 825 juta, dan 4 transaksi impor senilai CNY 378 juta. “Komoditinya mesin, plastik, dan tekstil,” kata Senior Vice President dan Head of Internasional Banking BNI itu.
Meski masih kecil, Firman yakin, tren penggunaan renminbi dalam transaksi perdagangan kedua negara akan bertumbuh dan semakin masif. Pendorongnya adalah potensi perdagangan kedua negara yang besar. “Tahun ini target trade finance renminbi BNI tumbuh 20%–25%,” imbuhnya.
Selain itu, masih banyak counterpart di China yang menjadi nasabah bank-bank kecil yang belum mengikuti aturan internasional. Hal ini menyulitkan bank asal Indonesia untuk menjalin kerjasama dengan mereka. “Publikasi laporan keuangannya saja masih pakai huruf kanji. Tapi tinggal tunggu waktu mereka ikut aturan internasional,” ujar Firman.
Anda tertarik?
Laporan Utama
Kontan No. 25-XIX, 2015
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News