Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia Development and Islamic Studies (Ideas) menilai utang pemerintah sudah tidak sehat dan perlu dikurangi. Ideas menyarankan agar pemerintah memangkas belanja negara lewat pos-pos belanja yang dianggap tidak produktif.
Direktur Eksekutif Ideas Yusuf Wibisono mengatakan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2018 belanja untuk rakyat sangat minim.
Baca Juga: Neraca dagang surplus, KEIN: Ini bukan karena perbaikan ekspor
Catatan Yusuf, belanja untuk rakyat yang meliputi belanja modal jaran, irigasi, jaringan, dana desa, subsidi elpiji, dan subsidi listrik mencapai Rp 258,9 triliun. Dia membandingkannya dengan pembayaran bung utang pemerintah 2018 yang senilai Rp 258 triliun.
Di sisi lain, belanja untuk birokrasi atau perjalanan dinas dalam negeri merogoh kocek negara hingga Rp 39,5 triliun. Angka tersebut hampir setara dengan total bantuan operasional kesehatan, bantuan sosial (Bansos), dan subsidi lainnya senilai Rp 39,2 triliun.
“Belanja pemerintah lebih banyak digunakan untuk belanja investor dan birokrasi, inilah yang perlu dipangkas. Sehingga Indonesia bisa mengurai utang ke depannya,” kata Yusuf kepada Kontan.co.id, Senin (15/9).
Posisi stok utang pemerintah per Juli 2019 tercatat Rp 4.604 triliun atau sekitar 29,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Yusuf mengatakan meski pemerintah mengklaim terus melakukan pengelolaan utang yang berhati-hati dan terukur, tapi utang pemerintah secara absolut terus meningkat tiap tahun.
Baca Juga: Harga minyak tersulut, neraca dagang Indonesia diprediksi defisit di akhir tahun ini
Ideas mencatat dalam satu dekade terakhir stok utang pemerintah membengkak dari Rp 1.586 triliun pada Juli 2009 menjadi Rp 4.604 triliun pada Juli 2019. Artinya pertumbuhan utang dalam sepuluh tahun terakhir hampir tiga kali lipat.
Yusuf bilang melonjaknya stok utang pemerintah berakar dari rendahnya kinerja penerimaan perpajakan. Dengan tax ratio yang rendah, hanya di kisaran 10% dari PDB, mengindikasikan besarnya potensi pajak yang hilang, sekitar 2%-5% dari PDB per tahun.
Di samping itu, Yusuf menilai besarnya belanja pemerintah terikat yang berada di kisaran 11% dari PDB mengindikasikan inefisiensi sektor publik yang masif.
Baca Juga: KEIN: Neraca dagang Indonesia terbeban defisit non-migas dengan China
“Seluruh penerimaan perpajakan setiap tahunnya habis hanya untuk membiayai belanja terikat yaitu belanja pegawai, barang, bunga utang, dan transfer ke daerah,” kata Yusuf.
Menurutnya selain menghemat belanja dengan ketidakmampuan menekan non discretionary expenditure yang signifikan, rendahnya penerimaan pajak telah membatasi belanja ekonomi-sosial yang penting dan mendorong ketergantungan pada utang yang semakin besar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News