Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya ada 12 poin kritis dari rumusan delik korupsi yang ada di Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang berpotensi besar melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
"Dari 12 catatan kritis tersebut, ada 4 akibat yang dapat melemahkan upaya pemberantasan korupsi dan kewenangan KPK, jika RKUHP tetap disahkan," kata Peneliti ICW Tama S. Langkun dalam keterangan resminya, Kamis (8/3).
Pertama, memangkas kewenangan penindakan dan penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meski Pemerintah dan DPR kerap berdalih bahwa jika RKUHP disahkan tidak akan mengganggu kerja KPK, namun kenyataannya justru sebaliknya.
Kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam UU KPK tidak lagi berlaku jika RKUHP disahkan. Artinya KPK tidak lagi berwenang menangani kasus korupsi yang diatur dalam KUHP.
"Pada akhirnya KPK hanya akan menjadi Komisi Pencegahan Korupsi karena tidak dapat melakukan penindakan dan penuntutan," kata Tama.
Kedua, selain KPK, Pengadilan Tipikor juga berpotensi mati suri jika delik korupsi masuk dalam RKUHP. Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor pada intinya menyebutkan bahwa Pengadilan Tipikor hanya memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor.
Dengan demikian jika tindak pidana korupsi diatur dalam KUHP maka kasusnya tidak dapat diadili oleh Pengadilan Tipikor dan hanya dapat diadili di Pengadilan Umum.
"Sebelum Pengadilan Tipikor dibentuk, Pengadilan Umum dikenal sebagai institusi yang banyak membebaskan koruptor," sambungnya.
Ketiga, sejumlah ketentuan delik korupsi dalam RKUHP justru menguntungkan koruptor. Kondisi ini berbeda dengan UU Tipikor yang selama ini dinilai efektif menjerakan korupsi. Ancaman pidana penjara dan denda bagi koruptor dalam RKUHP lebih rendah dari ketentuan yang diatur dalam RKUHP.
Ironisnya adalah koruptor yang diproses secara hukum bahkan telah dihukum bersalah tidak diwajibkan membayar uang pengganti kepada Negara karena RKUHP tidak mengatur hukuman membayar uang pengganti atau uang yang telah dikorupsi.
Keempat, RKUHP juga tidak mengakomodir ketentuan Pasal 4 UU Tipikor yang intinya menyebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan Negara tidak menghapus pidana yang dilakukan.
Jika ketentuan Pasal 4 tidak dimasukkan dalam RKUHP maka di masa mendatang pelaku korupsi cukup mengembalikan kerugian keuangan Negara agar tidak diproses oleh penegak hukum.
"Berdasarkan sejumlah catatan tersebut maka ICW menyatakan menolak pengesahan RKUHP dan menolak pengaturan delik korupsi dimasukkan ke dalam RKUHP," imbuh Tama.
Ia mengimbau agar DPR dan Pemerintah sebaiknya mengakomodir usulan perubahan maupun penambahan delik korupsi dalam Revisi UU Tipikor dan tidak memaksakan dicantumkan meskipun terbatas ke dalam RKUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News