Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dana Moneter Internasional (IMF) mengimbau Indonesia untuk mempertimbangkan kebijakan penghapusan bertahap atas pembatasan ekspor nikel. Hal itu disebutkan dalam dokumen IMF Executif Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia.
Ketua Bidang Maritim, Kelautan, dan Perikanan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Fathul Nugroho menilai kebijakan hilirisasi yang dijalankan Presiden Joko Widodo sudah tepat. Sebab itu, Pemerintah harus berani dan siap menghadapi sejumlah pihak asing yang kontra dengan kebijakan tersebut.
Pihaknya mendukung sikap Pemerintah yang dengan tegas menolak himbauan Dana Moneter Internasional alias IMF untuk menghapus pembatasan ekspor nikel.
"Kebijakan hilirisasi sudah berjalan dengan baik. Terutama di sektor mineral, beleid tersebut berhasil meningkatkan investasi dan nilai tambah ekspor hasil pengolahan mineral," ujar Fathul dalam keterangannya, Selasa (4/7).
Sekadar informasi. IMF memberikan catatan tentang rencana hilirisasi nikel di Indonesia dalam dokumen 'IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia'. Dalam dokumen tersebut, IMF menyampaikan kebijakan Indonesia seharusnya berlandaskan analisis terkait biaya dan manfaat lebih lanjut. Kebijakan juga harus mempertimbangkan dampak-dampak terhadap wilayah lain.
Baca Juga: IMF Minta Indonesia Pertimbangkan Stop Ekspor Nikel, Ekonom: Tidak Ganggu Investasi
Atas alasan itu, IMF lantas mengimbau Indonesia mempertimbangkan kebijakan penghapusan bertahap terhadap pembatasan ekspor nikel. Bahkan tidak memperluas pembatasan ekspor ke komoditas lainnya.
Fathul mengatakan, kebijakan hilirasi yang digalakkan pemerintahan Jokowi dapat mengerek pertumbuhan ekonomi nasional. Tak ayal jika ada pihak asing, termasuk IMF yang terkesan kurang suka dengan langkah yang diambil Indonesia.
Fathul pun berpesan agar Pemerintah tetap pada pendiriannya, dan tak gentar dengan manuver yang dilakukan pihak asing.
"Pemerintah harus berani dan siap menghadapi pihak luar negeri yang kontra kebijakan tersebut, termasuk IMF, dan mendukung Menko Marivest Luhut Binsar Pandjaitan untuk menjelaskan ke IMF," pintanya.
Lagipula, kata Fathul, lembaga sekaliber IMF seharusnya objektif. Yakni, menghitung cost and benefit analysis dari sudut pandang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tidak hanya mementingkan negara lain.
Sebab, selama ini telah terjadi defisit neraca perdagangan yang cukup besar antara Indonesia dan negara pengimpor nikel, khususnya China.
Untuk itu, Pemerintah harus segera memperluas hilirisasi di sektor lain, khususnya kelautan dan perikanan. Terlebih, Indonesia merupakan negara kepulauan, dengan luas lautan dan garis pantai terpanjang kedua di dunia.
Baca Juga: IMF Minta Larangan Ekspor Bijih Nikel Dicabut, Kadin Nilai Tak Punya Dasar Hukum
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang tahun 2022, nilai ekspor produk perikanan mencapai 6,24 miliar dolar AS, atau naik 9,15 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Capaian ini didapat dari pengiriman ke Amerika Serikat, China, Jepang, serta negara-negara lain di ASEAN dan Uni Eropa.
Tuna-Cakalang-Tongkol (TCT) menjadi penyumbang nilai ekspor terbesar setelah udang. Kelompok ikan pelagis khususnya tuna, masih menjadi komoditas andalan yang terus diminati pasar global.
"Apabila hasil laut dan perikanan dapat diolah menjadi produk bernilai tambah, maka diharapkan akan membuka lapangan pekerjaan baru dan meningkatkan nilai ekspor hingga berkali lipat seperti di komoditas nikel," pungkas Fathul.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News