Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat, ekspor minyak kelapa sawit dan turunannya hingga Juli 2019 mencapai 19,76 juta ton. Angka ini tumbuh 6,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar 18,51 juta ton.
Bila melihat kinerja ekspor secara bulanan, ekspor minyak sawit dan turunannya pada Juli 2019 dibandingkan Juli 2018 mengalami penurunan sebesar 9,38% atau dari 3,21 juta ton menjadi 2,91 juta ton.
Namun, bila ekspor bulan Juli 2019 dibandingkan dengan Juni 2019, terjadi kenaikan sebesar 15,6% atau dari 2,52 juta ton menjadi 2,91 juta ton.
Baca Juga: Ekonom Prediksi Neraca Perdagangan Surplus karena Harga Minyak Melemah
Kenaikan ekspor tersebut terjadi pada ekspor biodiesel yang tumbuh 92,7% atau mencapai 219.000 ton, ekspor CPO tumbuh 52% menjadi 678.000 ton, lauric (PKO crude dan processed) tumbuh 11,2% menjadi 129.000 ton, processed palm oil (liquid dan solid fractions) tumbuh 5,5% menjadi 1,7 juta ton, sementara penurunan terjadi pada ekspor oleokimia sebesar 12% menjadi 219.000 ton.
"Penyakit flu babi Afrika, menurunkan crushing kedelai di China yang berdampak pada peningkatan impor minyak sawit dari Indonesia hampir 50% dari Juni," tutur Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan.co.id, Selasa (17/9).
Tak hanya ke China, Gapki juga mencatat peningkatan ekspor ke Bangladesh pada periode Juni 2019 ke Juli 2019 sebesar 264%, ke India meningkat 77%, ke Afrika meningkat sebesar 32% ke Uni Eropa tumbuh 17% sementara ekspor ke negara lain tumbuh 41%.
Meski ekspor ke berbagai negara tumbuh, ekspor minyak sawit dan turunannya ke Amerika Serikat dan Timur Tengah justru mengalami penurunan dengan penurunan masing-masing sebesar 54% dan 43%.
Baca Juga: CPO Malaysia: Ekspor Naik, Stok Makin Berkurang
Berbeda dengan ekspor, konsumsi minyak sawit baik untuk kebutuhan pangan dan industri di dalam negeri pada periode Juni 2019 ke Juli 2019 justru mengalami penurunan sebesar 0,3%.
Menurut Mukti, hal ini disebabkan mulai Mei industri telah menyiapkan stok produk untuk lebaran yang jatuh pada Juni sehingga pemakaian minyak sawit untuk pangan pada mulai Mei tinggi. "Pada bulan Juli, industri pangan cenderung mengeluarkan stok kelebihan produksi yang dipersiapkan untuk lebaran," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News