Reporter: Abdul Basith, Lidya Yuniartha, Noverius Laoli | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Kementerian Perdagangan (Kemdag) dikabarkan telah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras medium sebesar Rp 9.000 per kilogram (kg) dan beras premium Rp 11.500 per kg. Jika benar, maka penetapan harga eceran ini berpotensi menimbulkan masalah baru. Sebab, pedagang menilai harga tersebut tidak mencerminkan fakta harga di lapangan.
Paryoto, salah satu pedagang beras di Sragen Jawa Tengah mengatakan, bila harga tersebut benar ditetapkan maka akan menimbulkan kerugian kepada pedagang. Sebab dengan harga beras medium sebesar Rp 9.000 per kg, otomatis harga di pedagang beras harus lebih murah berkisar Rp 8.200.
"Sementara, penggilingan tidak akan menjual beras bila harga yang ditawarkan tidak sesuai. Hal yang sama juga berlaku untuk beras premium," ujarnya kepada KONTAN, Selasa (15/8).
Menurut Paryoto, pemerintah sebaiknya tidak mematok harga beras di tingkat konsumen. Sebab beras memiliki beragam kualitas yang membutuhkan biaya yang cukup besar untuk mengolahnya. Apalagi saat ini, harga gabah di tingkat petani juga sudah tergolong tinggi. Untuk gabah kering panen (GKP) sebesar Rp 4.700 per kg dan gabah kering giling (GKG) senilai Rp 5.200-Rp 5.300 per kg.
Hal yang sama juga diungkapkan Ayong, salah satu pedagang di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) Jakarta. Dia bilang, bila pemerintah menerapkan harga sebesar itu, maka penggilingan beras dari daerah akan enggan mengirimkan berasnya ke pasar induk, karena harga yang ditawarkan sangat rendah.
Kalau harga premium menjadi Rp 11.500 per kg, itu mungkin dari daerah tidak mau datang karena merasa rugi. Sementara, kami juga tidak bisa beli lebih mahal. Kalau dia tidak datang kan otomatis kami tidak punya barang, ujar Ayong.
HPP naik 10%
Namun pedagang beras dari Gresik Jawa Timur bernama Sumanto mendukung penetapan HET tersebut. Sebab dengan adanya HET harga beras dapat distabilkan.
Kalau sudah ditentukan HET, berarti saya beli gabah tidak tinggi, ada patokannya. Yang dirugikan bukan petani dan pedagang, yang dirugikan itu pedagang besar. Kalau HET ada, harga di tingkat penggilingan kecil tidak berubah-ubah ungkap Sumanto.
Namun agar lebih valid, pedagang masih menunggu kebijakan resmi pemerintah atas penetapan HET beras ini.
Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir mengaku pihaknya juga diundang dalam rapat penentuan HET dengan Kemdag. Namun menurutnya, petani tidak terlibat terlalu jauh dalam penentuan HET beras. Sebab petani hanya berkepentingan pada penentuan harga GKP dan GKG. "Petani itu tidak memiliki mesin penggilingan padi, jadi yang menolak HET Itu pedagang dan industri penggilingan," ujarnya.
Menurutnya dalam rapat tersebut, pemerintah akan menaikkan harga pembelian gabah ditingkat petani sebesar 10%. Dengan begitu maka harga GKP naik dari Rp 3.700 per kg menjadi Rp 4.070 per kg. Sementara GKG naik dari sebelumnya Rp 4.600 per kg menjadi Rp 5.060 per kg. Sementara harga beras di petani juga naik dari Rp 7.300 per kg menjadi Rp 8.030 per kg.
Roy Nicholas Mandey, Ketua Asosiasi Pedagang Ritel Indonesia (Aprindo) mengaku, pembahasan HET beras di Kemdag pada Selasa (15/8) berlangsung alot hingga malam hari. Bahkan, menurutnya, sempat terjadi deadlock akibat perbedaan persepsi antara pemerintah dan kalangan pengusaha "Saat ini masih berlangsung, tadi sempat deadlock karena persepsi disamakan," ujar Roy di sela-sela rapat ke KONTAN sekitar pukul 20.30 WIB.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News