Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Harga minyak mentah dunia dalam tiga hari terakhir di pekan lalu menunjukkan penurunan. Hal ini yang turut diwaspadai oleh Bank Indonesia (BI) dan dampaknya terhadap kondisi ekonomi di dalam negeri.
Berdasarkan data Bloomberg, harga minyak mentah Amerika Serikat (AS), West Texas Intermediate (WTI) pada Rabu (8/3) lalu turun ke US$ 50,28 per barel dari hari sebelumnya yang masih di posisi US$ 53,14 per barel. Penurunan tersebut berlajut hingga Jumat (10/3) ke posisi US$ 48,49 per barel.
Harga minyak mentah Brent International (ICE) pada Rabu (8/3) juga menurun ke posisi US$ 53,11 per barel dari sehari sebelumnya yang masih di posisi US$ 55,92 per barel. Penurunan tersebut juga berlanjut hingga Jumat (10/3) pekan lalu ke posisi US$ 51,37 per barel.
Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, rendahnya harga minyak mentah tersebut terjadi lantaran stok dan produksi minyak mentah AS yang meningkat. Meski turun, bank sentral belum mengoreksi proyeksi harga minyak mentah dunia di tahun ini.
Dari hasil kajian BI pada Januari 2017 lalu, BI memperkirakan rata-rata harga minyak mentah dunia naik menjadi US$ 47 per barel, naik dari proyeksi berdasarkan hasil kajian Desember 2016 yang sebesar US$ 45 sebarel.
Sementara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017, pemerintah mematok asumsi harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) sebesar US$ 45 per barel, lebih tinggi dibanding asumsi dalam APBN Perubahan 2016 yang sebesar US$ 40 per barel.
Dalam rapat koordinasi Tim Pengendalian Inflasi (TPI) dan Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) 25 Januari 2017 lalu Agus mengatakan, kenaikan harga minyak mentah tersebut akan berdampak pada komoditas lainnya, termasuk bahan bakar minyak (BBM).
Kepala Ekonom Bank Mandiri bidang Riset Industri dan Wilayah Dendi Ramdani mengatakan, harga minyak mentah dunia akan sangat tergantung pada tingkat disiplin negara-negara penghasil minyak (OPEC) yang telah sepakat menurunkan produksi sebesar 1,2 juta barel mulai Januari 2017. Dendi melanjutkan, dari data Januari 2017, OPEC telah menurunkan produksinya sebesar 1 juta barel.
Sementara penurunan harga minyak mentah dunia tiga hari terakhir lantaran rumor bahwa investasi shale oil akan masuk lagi. "Saya kira ini sentimen negatif sementara saja," kata Dendi kepada KONTAN, Jumat lalu.
Dendi juga memperkirakan, negara-negara OPEC akan taat pada komitmennya. Sebab jika tidak, harga minyak akan turun yang akan merugikan mereka. Apalagi negara-negara OPEC mengalami defisit APBN besar, seperti Arab Saudi, Kuwait, dan Iran.
Dendi memperkirakan, harga minyak mentah dunia akan berada di level US$ 55 per barel hingga akhir tahun jika negara-negara OPEC taat pada kuota produksinya masing masing. Walaupun harga minyak mentah juga diperkirakan tak akan melebihi US$ 60 per barel lantaran kenaikan yang terlalu tinggi akan menyebabkan pasokan Shale Oil akan meningkat.
Selain mendorong penerimaan negara, Dendi bilang kenaikan harga minyak mentah dunia tersebut juga mendorong kenaikan harga komoditas lainnya sehingga mendorong ekspor tahun ini. Pihaknya memproyeksi, ekspor Indonesia tahun ini akan mencatat pertumbuhan positif 4% year on year (yoy).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News