kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.482.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.490   -65,00   -0,42%
  • IDX 7.496   -47,74   -0,63%
  • KOMPAS100 1.161   -10,37   -0,89%
  • LQ45 930   -7,66   -0,82%
  • ISSI 225   -1,75   -0,77%
  • IDX30 479   -4,07   -0,84%
  • IDXHIDIV20 576   -4,59   -0,79%
  • IDX80 132   -1,10   -0,82%
  • IDXV30 142   -0,97   -0,68%
  • IDXQ30 160   -1,14   -0,70%

Harga Alat Kesehatan Mahal, Aspaki Minta Insentif ke Pemerintah


Senin, 08 Juli 2024 / 14:56 WIB
Harga Alat Kesehatan Mahal, Aspaki Minta Insentif ke Pemerintah
ILUSTRASI. Harga alat kesehatan (alkes) dan obat-obatan di Indonesia masih mahal bahkan lebih mahal dari negara tetangga Malaysia.


Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta harga alat kesehatan (alkes) dan obat-obatan diturunkan karena dinilai masih mahal bahkan lebih mahal dari negara tetangga Malaysia.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (Aspaki) Cristina Sandjaja mengatakan telah mendapatkan info mengenai harga alkes Indonesia lima kali lipat lebih mahal dari negara tetangga.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah membahas hal ini dengan Aspaki. Namun, Aspaki mempertanyakan apakah mahalnya alkes tersebut berasal dari impor atau dari dalam negeri.

Menurutnya, saat ini sudah cukup banyak industri alkes dalam negeri yang produknya telah dieskpor ke berbagai negara.

“Adanya industri lokal itu kan semangatnya adalah kemandirian, yang akan menunjang ketahanan sistem kesehatan di Indonesia, efisiensi dan availabilitas terjamin,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (8/7).

Baca Juga: Dukung Harga Obat Terjangkau, Begini Upaya Kalbe Farma (KLBF)

Cristina mengungkapkan, demi meningkatkan efisiensi pihaknya meminta pemerintah melakukan beberapa hal untuk mendorong industri alkes dalam negeri, yakni dari sisi pajak dan non pajak.

Dari sisi pajak, kata Cristina, pemerintah perlu mengurangi beban impor, karena saat ini ada beberapa hal yang meningkatkan biaya impor. Pertama pajak berganda (double taxation) melalui PPh 22. Kedua, bea masuk yang tergolong tinggi di ASEAN.

“Bea masuk bahan baku atau bahan setengah jadi atau komponen tertentu alkes yang bisa lebih tinggi daripada bea masuk produk jadi,” ungkapnya.

Masih dari sisi pajak, lanjut dia, pemerintah perlu menambah insentif pajak bagi industri produsen alkes dalam negeri. Menurutnnya, persyaratan investasi tax holiday saat ini terlalu tinggi.

“Selain itu, perlu adanya insentif tambahan untuk riset dan pengembangan dalam negeri. Perlu adanya tax rebate untuk menstimulasi ekspor,” tuturnya.

Sementara itu, dari sisi non pajak, Cristina bilang, perlu adanya proses pengadaan alkes yang lebih baik seperti e-Planning, e-Purchasing dan e-Payment untuk menjamin term of payment dari RS pemerintah kepada penyedia.

“Sehingga dapat diperhitungkan cost of money secara tepat, sehingga estimasi biaya yang dibebankan pada harga produk lebih terukur,” katanya.

Berikutnya, terciptanya ekosistem industri alkes, melalui ketersediaan material di dalam negeri dengan tingkat kualitas dan harga bersaing, sehingga harga jual produk jadi dapat bersaing dengan harga produk jadi impor.

Baca Juga: Ini Strategi Kalbe Farma (KLBF) di Tengah Upaya Pemerintah Menurunkan Harga Obat

Lebih lanjut, Cristina menambahkan, pemerintah perlu mendorong Kamus Farmasi dan Alat-alat Kesehatan (KFA), Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) dan aplikasi lainnya sebagai dasar dari database industri yang permanen.

“Dengan data yang jelas terkait sumber bahan baku dan komponen dalam negeri, data yang jelas dan terbuka terkait kebutuhan produk alkes, sehingga industri manufaktur alat kesehatan dapat melakukan kalkulasi yang lebih tepat dan terencana dan dapat menghasilkan produk dengan harga yang lebih kompetitif,” imbuh Cristina.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Eksekusi Jaminan Fidusia Pasca Putusan MK Supply Chain Management on Procurement Economies of Scale (SCMPES)

[X]
×