Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Tri Adi
JAKARTA. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) memandang sektor pangan sebagai salah satu dari tujuh persoalan utama ekonomi Indonesia. Mereka memandang Indonesia masih belum berdaulat dari sisi pemenuhan kebutuhan pangan.
Maklum saja, saban tahun kuota impor pangan Indonesia terus saja membengkak. Padahal, dulu Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan segudang sumber alam yang berlimpah ruah.
Untuk itu, partai berlambang anak panah ini menaruh target swasembada pangan sebagai program utama jika mendapat kesempatan untuk berkuasa. Melalui pasangan capres-cawapres Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo alias Win-HT, Hanura janjikan program swasembada bukan isapan jempol belaka.
Apalagi sejarah membuktikan, Indonesia pernah mencapai target swasembada pangan. Tapi, sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pencapaian swasembada nyaris tak terdengar lagi sebagai program pemerintah.
Tim ekonomi Hanura, Erik Satrya Wardhana mengatakan, konsep kebijakan pangan pemerintahan saat ini lebih mengutamakan pada ketahanan pangan. Dengan kata lain, menjaga kecukupan suplai bahan pangan. Tapi pemerintah tak peduli apakah berasal dari produksi dalam negeri atau melalui impor.
Akibatnya Indonesia banjir produk pangan impor. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2013 lalu, Indonesia melakukan impor 29 komoditas komoditas pangan senilai US$ 6,6 miliar. Lima dari 29 komoditas itu menjadi penyumbang utama defisit neraca perdagangan Indonesia. Seperti impor gula, gandum, kedelai, jagung juga beras.
Ke depan Hanura punya pandangan beda soal kebijakan pangan ini. Hanura janji akan berpihak kepada petani agar bisa mencapai swasembada pangan.
Adapun beberapa langkah yang akan dilakukan untuk mewujudkan janji ini antara lain:
Pertama, melalui program peningkatan nilai tambah produk pangan. Dengan mengembangkan komoditas-komoditas unggulan lokal. Sebut saja untuk komoditas kedelai. Selama ini pasokan kedelai dalam negeri banyak dipenuhi dari impor. Pasokan kedelai dari dalam negeri hanya sekitar 5%-10%.
Jika berkuasa, Hanura menargetkan akan meningkatkan produksi kedelai agar bisa memenuhi pasar dalam negeri sekitar 30%-40%. Erik meyakini kedelai sangat mungkin ditanam dan dikembangkan di Indonesia. Berbeda halnya untuk komoditas gandum.
Kedua, meningkatkan anggaran Kementerian Pertanian dan institusi lainnya secara signifikan. Ini menjadi langkah konkrit guna mendukung kedaulatan pangan melalui sejumlah program yang ditetapkan. "Kami akan memberi kemudahan bagi petani," kata Ketua Fraksi Hanura, Syarifudin Suding.
Sebut saja seperti pemberian insentif pupuk dan bibit benih tanaman ke petani. Perbaikan dan pembangunan saran infrastruktur lainnya mulai dari irigasi dan sarana konektivitas. Tak kalah penting menyangkut pemulihan lahan pertanian yang rusak akibat obat-obatan kimia.
Kini tinggal tunggu realisasinya. Semoga bukan sebatas jargon politik demi dongkrak suara.
Pilih ketahanan atau kedaulatan pangan Kebijakan pangan pemerintah tak bisa setengah-setengah. Partai politik yang kelak memimpin pemerintahan harus fokus untuk mencapai ketahanan pangan atau kedaulatan pangan. Pengamat politik Universitas Gajah Mada (UGM) Ari Dwipayana mengingatkan, sebagai peserta pemilu 2014 Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) harus punya program yang jelas. "Ingin ketahanan atau kedaulatan pangan," terang Ari. Ketahanan pangan membawa konsekwensi kebijakan untuk menjaga kecukupan atau ketersediaan pasokan pangan di dalam negeri. Nah, caranya bisa produksi sendiri, atau dengan cara instan yakni impor dari luar. Sedangkan pilihan kebijakan untuk mencapai kedaulatan pangan akan memiliki konsekwensi bagi pemerintah untuk mencari sumber kehidupan bagi masyarakat. Nah disini, ada hak-hak warga negara terutama petani yang harus diutamakan. Untuk itu, Ari menyarankan Hanura mengangkat konsep kedaulatan pangan. "Keberpihakan harus jelas pada siapa, petani atau konsumen," ujarnya. Di sisi lain, Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Lana Soelistianingsih mengatakan program pertanian yang diusung setiap partai politik setidaknya minimal harus memenuhi kebutuhan pangan domestik. Setelah memenuhi permintaan dalam negeri, maka produksi dimungkinkan mengekspor produk pangan. Menurut Lana, supaya petani Indonesia bisa memenuhi target swasembada pangan dan ekspor, maka produk pangan yang dihasilkan harus punya nilai tambah. Indonesia bisa mencontoh Thailand dengan mengembangkan industri pengalengan buah-buahan untuk diekspor. "Indonesia harus bisa seperti itu," katanya. Kegiatan meningkatkan nilai tambah ini bisa mendongkrak ekspor sekaligus membuka lapangan kerja. Industri baru akan tercipta dan bisa memutar roda perekonomian dalam negeri. |
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News