Reporter: Sinar Putri S.Utami | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. PT Indosat Tbk (ISAT) kalah dalam perkara melawan PT Lintas Teknologi Indonesia (LTI) terkait pembatalan perjanjian
No.030/E00-E0P/PRC/14-SA tanggal 6 Juni 2014 senilai US$ 2,5 juta.
Perkara ini bermula saat adanya gangguan internet tanggal 2 April 2014 yang disebabkan LTI di Indosat. Lantaran gangguan tersebut, LTI melakukan upaya maksimal untuk menyelesaikan gangguan sepanjang bidang pekerjaannya dan diselesaikannya dalam waktu 3 jam keesokan harinya
Pihak LTI menilai gangguan itu bukan murni kesalahannya, tapi jaringan keamanan sistem milik Indosat sangat rapuh sehingga menimbulkan gangguan yang masif. Namun, belakangan muncul klaim dari Indosat yang mengaku mengalami kerugian dan mendorong LTI menandatangani perjanjian perdamaian dengan Indosat yang mendenda LTI akibat gangguan internet tersebut sebesar US$ 2,5 juta.
Padahal nilai yang diklaim Indosat tersebut belum pernah dihitung dan dikaji. Selain itu, Indosat juga mem-blacklist LTI selama setahun. Tapi, bila LTI meneken perjanjian perdamaian senilai US$ 2,5 juta tersebut, maka Indosat masih akan memberikan kesempatan kepada LTI mengerjakan proyek-proyek ekspansi Indosat.
Setelah menandatangani perjanjian perdamaian itu, LTI justru merasa terperangkap. Soalnya, pekerjaan-pekerjaan yang dijanjikan Indosat kepadanya ternyata sudah dialihkan kepada pihak lain. Padahal pekerjaan yang diberikan Indosat merupakan sumber pendapatan operasional LTI untuk membayar kerugian yang diklaim Indosat.
Karena kondisi itu, LTI beranggapan dari awal Indosat sudah menunjukkan itikad tidak baik dalam membuat perjanjian perdamaian. Sebab LTI mengaku dalam tekanan dan intimidasi saat menandatangi perjanjian tersebut. Bila tidak diteken, maka Indosat mengancam menuntut LTI secara perdata dan pidana.
"Mengabulkan gugatan penggugat dan menyatakan perjanjian perdamaian yang telah ditandatangani kedua belah pihak batal dengan segala akibat hukumnya," kata Siti Basariah, Ketua Majelis Hakim dalam perkara ini, Selasa (11/8).
Hakim menimbang dalam perjanjian perdamaian ternyata terdapat ketidakseimbangan posisi antara penggugat yang merupakan perusahaan nasional dengan tergugat yang tergolong perusahaan multinasional. Hal ini menimbulkan adanya perusahaan yang lebih besar dan ketergantungan terhadap salah satu pihak.
Dengan begitu, majelis hakim menilai persetujuan perjanjian perdamaian yang dilakukan LTI dengan Indosat tersebut melanggar pasal 1320 KUHPerdata. Pasal ini menyatakan tidak adanya kehendak bebas kedua pihak dalam membuat perjanjian. Hal itu menimbulkan ketimpangan atau ketidakseimbangan posisi antara penggugat dengan tergugat.
Menanghapi hal tersebut, kuasa hukum LTI Andrey Sitanggang menilai putusan majelis hakim memang sudah seharusnya terjadi. "Putusan pun sudah sesuai dengan dalil dari saksi-saksi yang didatangkan dalam persidangan," ungkap dia, Rabu (12/8).
Ia juga berharap, Indosat bisa menyadari kesalahan yang dilakukannya itu dan menerima putusan majelis hakim. Selain itu, pihaknya juga siap jika Indosat melakukan upaya hukum selanjutnya yakni, banding.
Kuasa hukum Indosat David Siregar merasa baik pertimbangan maupun putusannya majelis dinilai tidak tepat. "Masih ada upaya hukum selanjutnya, kita pasti akan ajukan banding," ungkap David.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News