Reporter: SS. Kurniawan, Maria Elga Ratri, Dikky Setiawan, Tendi Mahadi | Editor: Imanuel Alexander
JAKARTA. Sebagian besar orang tahu, negara kita kaya gas alam. Gas yang terkandung di dalam perut bumi Indonesia, menurut data Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mencapai 152,89 miliar barel .
Tapi, sebagian besar orang juga tahu, di negeri yang kaya gas ini, pasokan gas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri terutama untuk industri sangat seret. Soalnya, sebagian besar hasil produksi gas kita terbang ke luar negeri. Ditjen Migas Kementerian ESDM mencatat, tahun 2011 lalu, sebanyak 53% dari total produksi gas Indonesia yang mencapai 8,922 miliar standar kaki ubik per hari (bscfd) diekspor. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan domestik hanya 41,2% .
Alhasil, krisis gas bagi industri menjadi ritual tahunan. Tahun ini, kebutuhan gas untuk industri di luar industri pupuk dan petrokimia, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), serta PT Krakatau Steel Tbk, mencapai 1.108 juta standar kaki kubik per hari (mmscfd). Sementara, jatah gas industri hanya sekitar 550 (mmscfd). Itu berarti, pasokan gas cuma mampu memenuhi separuh dari kebutuhan gas industri.
Memang, Ahmad Saifun, Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), bilang, pemerintah menjanjikan tambahan suplai sebanyak 100 mmscfd-150 mmscfd. Tapi, tetap saja masih kurang 450 mmscfd−500 mmscfd. Jadi, “Masih sangat jauh dari kebutuhan,” katanya. Catatan saja, tahun 2011 dan 2012 lalu, pasokan gas masingmasing hanya mampu memenuhi 54,4% dan 51,3% kebutuhan industri dalam negeri.
Celakanya, sudah pasokan gas tidak memenuhi kebutuhan industri lokal, harga jualnya juga naik. Mulai April 2013 nanti, harga jual gas PGN ke industri naik dari US$ 8 per million british thermal units (mmbtu) menjadi US$ 10 per mmbtu. Info saja, 1 mmscf setara dengan 1.165 mmbtu.
Pelaku usaha sebetulnya tidak terlalu masalah dengan kenaikan harga jual gas tersebut, asalkan pasokan bisa memenuhi kebutuhan industri. Elisa Sinaga, Ketua Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), optimistis industri keramik dalam negeri lebih mudah mendongkrak produksi jika pasokan gas terpenuhi. Tahun lalu, proyeksi realisasi produksi keramik mencapai 330 juta meter persegi (m²).
Dengan tambahan pasokan gas, produksi keramik tahun ini bakal tumbuh 15% menjadi 380 juta (m²). Menurut Elisa, produsen keramik bisa mengerek utilisasi produksi dari sebelumnyahanya mencapai 70%. “Peningkatan utilisasi bisa mendorong peningkatan produksi secara nasional,” ujar Elisa.
Jatah pemda
Problemnya, gas tidak hanya menjadi rebutan industri, melainkan juga pemerintah daerah (pemda). Biasanya, pemda meminta atah gas untuk keperluan program kelistrikan dan city gas alias gas kota di wilayahnya. Alokasi gas untuk pemda mengalir melalui badan usaha milik daerah (BUMD).
Dan kabarnya, semua produsen gas harus memenuhi berapapun jumlah gas yang diminta pemda. Namun, Edy Hermantoro, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, menegaskan, permintaan pemda tetap harus disesuaikan dengan kebutuhan proyek mereka di daerahnya, misal, untuk kelistrikan dan city gas. “Kalau mereka meminta harga jual gas tidak sesuai dengan harga keekonomiannya juga tidak bisa. Jangankan BUMD, Pertamina minta saja tidak bisa,” tegasnya.
Tapi, Agus Amperianto, Manajer Humas PT Pertamina EP, mengatakan, selama masih ada sisa pasokan gas, perusahaannya akan merekomendasikannya untuk memenuhi kebutuhan pemda. Hanya, Pertamina EP akan meminta persetujuan alokasi gas terlebih dulu kepada pemerintah pusat.
Proses permintaan gas oleh daerah, Agus menjelaskan, tahapannya adalah pertama-tama pemda wajib membentuk BUMD. Kemudian, pemda mengajukan perizinan ke Kementerian ESDM dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu (SKK) Migas. Setelah izin dikantongi dan diverifi kasi nilai keekonomian yang tepat, baru masuk tahap perjanjian kerjasama antara Pertamina EP dan pemda. “Ketentuan penjualan gas ke pemda bisa dilakukan melalui mekanisme tunjuk langsung,” ungkap dia.
Sejauh ini, Pertamina EP menjalin perjanjian yang sudah disepakati maupun yang sedang dalam proses dengan pemda lewat BUMD untuk pemanfaatan kelistrikan dan city gas. Contoh, City Gas Kota Bekasi dengan PT Sinergi Patriot Bekasi, City Gas Kota Depok dengan PT Jabar Energi, City Gas Kota Blora dan kelistrikan dengan PT Blora Patra Energi, dan City Gas Kota Prabumulih dengan PD Petro Prabu. Lalu, proyek kelistrikan di Kabupaten Sarolangun dengan PD Serumpun Pseko, kelistrikan di Kabupaten Lahat dengan PD Pertambangan dan Energi Kab Lahat, serta kelistrikan di Kabupaten Majalengka dengan PD Sindang Kasih Multi Usaha.
Cuma, Sammy Hasan, Vice President Indonesia Petroleum Association, mengingatkan, baik pemerintah pusat maupun produsen gas harus berhati-hati apakah pemda benar-benar meminta untuk kepentingan wilayahnya atau hanya sebagai perantara. “Itu dua hal yang berbeda. Apa pun untuk domestik, kami harap bermanfaat secara umum,” imbuh Ketua Komite Tetap Bidang Energi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia ini.
Alokasi ke FSRU
Dan, untuk menjawab kekhawatiran banyak pihak terutama kalangan industri, Menteri ESDM Jero Wacik sudah meneken surat untuk SKK Migas yang isinya alokasi gas untuk kebutuhan domestik. Alokasi gas alam cair (LNG) itu untuk memenuhi kebutuhan unit penampungan dan regasifikasi terapung atau floating storage and regasification unit (FSRU) yang ada di Jakarta, Jawa Te-ngah, Aceh, dan Banten. “Kepentingan domestik tetap nomor satu,” tegas dia.
Jero menuturkan, LNG akan mengalir ke FSRU mulai 2013 hingga 2025. Keempat terminal tersebut ialah FSRU Jakarta yang dioperasikan PT Nusantara Regas, Terminal Arun yang akan dibangun PT Pertamina, FSRU Jawa Tengah yang bakal dibangun Pertamina, dan FSRU Banten yang akan dibangun perusahaan swasta.
Edy Hermantoro menambahkan, FSRU Jakarta bakal mendapat pasokan LNG sebanyak 27 kargo per tahun mulai 2013 hingga 2025. Sekadar info, satu kargo setara dengan 125.000 metrik ton. Lalu, Terminal Arun akan memperoleh 8 kargo pada 2015 dan 16 kargo per tahun antara 2016–2025.
Sementara, jatah untuk FSRU Jawa Tengah sebesar 8 kargo pada 2015, 16 kargo per tahun di 2016–2018, 22 kargo per tahun selama 2019-2022, 16 kargo pada 2023, 8 kargo tahun 2024, dan 8 kargo di 2025. FSRU Banten mengantongi jatah 6 kargo pada 2015, 16 kargo per tahun sepanjang 2016 hingga 2022, serta 8 kargo di 2023.
Sumber pasokan LNG berasal dari Kilang Tangguh, Papua Barat, yang sebelumnya diekspor ke Sempra, Amerika Serikat, dengan volume 20 kargo per tahun. Kemudian, dari Kilang Tangguh Train 3 yang mulai berproduksi di 2018. “Kami minta 40% hasil produksi diperuntukkan bagi kebutuhan dalam negeri,” kata Edy.
Pasokan LNG juga berasal dari Blok Mahakam yang seluruh kelebihan kargonya, yakni sebanyak 16 kargo, untuk kebutuhan domestik. Sumber pasokan lainnya adalah Lapangan Jangkrik dan North East Jangkrik yang dioperasikan ENI Indonesia. Dengan perincian, pada 2016 sebanyak 14 kargo, selama 2017–2022 sebesar 18 kargo per tahun, di 2023 sebesar 7 kargo, dan 2024-2025 sebesar 4 kargo setahun.
Terakhir, pasokan dari proyek Indonesia Deepwater Development (IDD) yang dikembangkan Chevron Indonesia Company. Perincian, 2017–2019 sebanyak 50 kargo per tahun, 2020–2021 sebesar 30 kargo setahun, 2022 sebanyak 16 kargo, dan 10 kargo pada 2023.
Porsi domestik tambah
Untuk FSRU Lampung milik PGN, pemerintah belum mengalokasikan LNG dalam surat Menteri ESDM untuk SKK Migas. Sebab, FSRU ini merupakan pindahan dari Belawan, Medan. Meski demikian, pemerintah akan mengalokasikan 10 kargo mulai 2015.
Sejauh ini, menurut Susilo Siswoutomo, Wakil Menteri ESDM, tidak ada satu pun produsen LNG yang menolak menyuplai gas alam cairnya ke empat FSRU tersebut. Jadi, “Kami tidak bicara sanksi. Toh, harga domestik sekarang juga bagus, maka tidak ada alasan kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) tidak jual gas untuk domestik,” tuturnya.
Rudi Rubiandini, Kepala SKK Migas, menegaskan, dengan adanya jaminan alokasi LNG tersebut, tidak ada lagi alasan dari investor untuk menunda-nunda pembangunan FSRU. Dalam dua tiga tahun ke depan, mereka sudah mendapat pasokan LNG. Alhasil, “PLN maupun industri tidak akan lagi kesulitan dapat gas,” ujarnya.
Tahun lalu, porsi alokasi gas untuk domestik dan ekspor hampir mulai seimbang. Sepanjang Januari–November 2012, gas yang mengalir buat memenuhi kebutuhan domestik mencapai 3.615 mmbtu per hari, sedang untuk ekspor sebanyak 3.692 mmbtu sehari. Dalam delapan tahun terakhir, terjadi peningkatan penyaluran gas ke domestik di atas 250%.
Tahun ini, Rudi menyatakan, porsi gas untuk domestik sudah di atas 50%. Targetnya, jatah gas untuk domestik sebanyak 4.020 mmbtu per hari, sementara ekspor hanya 3.870 mmbtu per hari. “Gas untuk domestik akan semakin besar di tahun-tahun mendatang,” janjinya.
Semoga semua janji-janji itu betul-betul terealisasi.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 21 - XVII, 2012 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News