kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.508.000   10.000   0,67%
  • USD/IDR 15.930   -61,00   -0,38%
  • IDX 7.141   -39,42   -0,55%
  • KOMPAS100 1.095   -7,91   -0,72%
  • LQ45 866   -8,90   -1,02%
  • ISSI 220   0,44   0,20%
  • IDX30 443   -4,74   -1,06%
  • IDXHIDIV20 534   -3,94   -0,73%
  • IDX80 126   -0,93   -0,74%
  • IDXV30 134   -0,98   -0,72%
  • IDXQ30 148   -1,09   -0,73%

Jangan lagi andalkan minyak dan gas


Rabu, 20 Februari 2013 / 14:21 WIB
Jangan lagi andalkan minyak dan gas
ILUSTRASI. Mayapada Healthcare resmikan rumah sakit Mayapada Hospital Kuningan di Jalan Rasuna Said Jakarta.


Reporter: Amal Ihsan Hadian, Umar Idris | Editor: Imanuel Alexander

JAKARTA. Ada angka mengejutkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2013. Kejutan ada pada angka produksi minyak mentah Indonesia siap jual atau lifting minyak. Pemerintah menetapkan asumsi lifting minyak tahun ini sebanyak 900.000 barel per hari.

Tak banyak orang yang tahu, ini adalah angka target lifting terendah sepanjang sejarah Indonesia. Dan, bukan cuma target saja, realisasinya kemungkinan juga akan menjadi yang terendah. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) jauh-jauh hari sudah angkat tangan dengan hanya menyanggupi mengeduk minyak 830.000 barel per hari.

Rofiyanto Kurniawan, Direktur APBN Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, mengakui, penurunan lifting bakal memangkas penerimaan negara dari minyak. Ini menjadi lebih mengkhawatirkan lantaran konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi diperkirakan bakal melonjak sehingga ada tambahan di pos belanja. Walhasil, hasil jualan minyak mentah itu tidak akan mampu menutupi kocek APBN yang bobol akibat BBM.

Andalan penerimaan

Dengan lifting sebanyak 900.00 barel per hari dan asumsi harga minyak Indonesia (ICP) sebesar US$ 100 per barel, pemerintah berharap penerimaan dari berjualan minyak tahun ini mencapai Rp 120,92 triliun. Angka ini jelas menurun dari realisasi tahun lalu yang mencapai Rp 150,8 triliun. Padahal, pemerintah harus merogoh kocek Rp 193,8 triliun tahun ini untuk subsidi BBM.

Jumlah sebesar itu apabila konsumsi BBM sesuai kuota 46,01 juta kiloliter. Padahal, menurut Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Andy N. Sommeng, konsumsi BBM tahun ini kemungkinan bisa mencapai 49 juta kiloliter. Pengeluaran subsidi bisa membengkak.

Karena jualan minyak bakal seret tahun ini, pemerintah berencana menggenjot penerimaan dari dagang gas. Maklum saja, gas alam berlimpah di perut bumi Indonesia.

Tahun ini, pemerintah menargetkan bisa menyedot gas bumi 1,36 juta barel setara minyak per hari. Target penerimaannya di APBN mencapai Rp 48,6 triliun, naik 2,5% dari pendapatan gas pada APBN-P 2012 yang hanya Rp 47,4 triliun.

Masalahnya, gas alam dibutuhkan oleh industri dalam negeri. Dari total produksi gas, hanya separuh yang bakal disediakan untuk industri domestik. Separuhnya lagi bakal diekspor untuk menambah pundi-pundi penerimaan negara. Walhasil, giliran pelaku usaha yang menjerit. Padahal, 2011 dan 2012 lalu, pasokan gas masing-masing juga hanya mampu memenuhi 54,4% dan 51,3% kebutuhan industri dalam negeri.

Sejatinya, lifting minyak dan pasokan gas ini menjadi masalah bukan hanya kebutuhan yang besar dan pasokan yang kurang. Namun, dua isu ini menjadi persoalan karena keduanya masih diandalkan sebagai penerimaan negara.

Di APBN 2013, porsi penerimaan negara bukan pajak (PBNP) terhadap total penerimaan negara masih mencapai 21,72%. Hampir 60% dari total PBNP tersebut disumbangkan oleh peneriman dari penjualan sumber daya alam, termasuk minyak dan gas yang mencapai Rp 190,69 triliun. Sumbangan minyak dan gas sendiri terhadap penerimaan sumber daya alam hampir 90%, lo.

Makanya, seretnya jualan minyak bumi dan gas alam akhirnya menjadi persoalan serius. Jangan heran, Menteri Keuangan Agus Martowardojo bilang, penurunan lifting minyak berpotensi menggangu penerimaan negara dan berisiko mengganggu kesehatan fiskal.

Menurut Agus, selain berdampak pada penerimaan negara, penurunan lifting minyak juga berisiko meningkatkan impor minyak yang berimplikasi pada makin membengkaknya defisit neraca perdagangan dan neraca berjalan kita.

Genjot pajak

Untuk mengatasi masalah ini, tidak ada cara lain, pemerintah harus menggenjot penerimaan dari pajak serta penerimaan negara bukan pajak lainnya. Karena itulah, setoran pajak tahun ini ditargetkan mencapai Rp 1.000 triliun lebih.

Banyak cara yang akan dilakukan. Misalnya, menyempurnakan administrasi perpajakan dan pemeriksaan untuk menekan penyelewengan. Salah satunya adalah melakukan registrasi ulang terhadap 780.000 pengusaha kena pajak (PKP) yang berhak memungut pajak pertambahan nilai (PPN).

Ada juga rencana Direktorat Jenderal Pajak mengejar kepatuhan 2,5 juta wajib pajak baru hasil sensus pajak 2012. Sebanyak 206.507 di antaranya ialah wajib pajak badan dan 2.249.639 wajib pajak pribadi.

Rus’an Nasrudin, pengamat ekonomi Universitas Indonesia, menilai, pemerintah seharusnya tak perlu panik menyikapi gangguan penerimaan dari lifting minyak dengan ekstensifikasi atau perluasan objek pajak atau cukai. Selain sumbangannya yang kecil terhadap penerimaan negara, cukai sejatinya lebih merupakan alat kontrol pemerintah terhadap konsumsi masyarakat, bukan alat budgetair atau penerimaan.

Menurut Rus’an, reformasi perpajakan harus diteruskan. Secara makro, reformasi bisa terlihat dari laju peningkatan penerimaan pajak nominal selama 2007-2012 yang selalu lebih tinggi dari peningkatan produk domestik bruto (PDB).

Rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB Indonesia juga terus meningkat. Dari 2009 sampai 2012, tax rasio meningkat dari 11% menjadi 12,3%. Jika penerimaan pajak daerah dan sumber daya alam minyak dan gas dimasukkan dalam perhitungan tax ratio, tax ratio Indonesia tahun 2009-2012 berkisar antara 14,1% - 15,8%.

Selain menggenjot penerimaan pajak dan PNBP lainnya, dalam jangka pendek yang paling tepat adalah memperbaiki iklim investasi di bidang minyak dan gas. Dengan begitu, investasi bisa masuk dan produksi minyak dan gas dalam negeri kembali bisa meningkat.

Sebagai contoh. Menurut World Petroleum Survey 2011 yang dilakukan Fraser Institute Canada, tata kelola industri minyak dan gas di Indonesia termasuk yang paling buruk. Di antara 145 negara yang disurvei, Indonesia berada di level 114. Tata kelola yang buruk jelas menyumbang persepsi investasi yang buruk terhadap industri minyak dan gas kita.

Berdasarkan data Top 135 Projects yang diterbitkan Goldman Sachs Research Institute, Indonesia juga termasuk negara berisiko tinggi dalam investasi bidang minyak dan gas. Indonesia disebut terjangkit korupsi akut, aturan hukum simpang siur, stabilitas politik labil, regulasi tak jelas, dan indeks pembangunan manusia rendah. “Semua ini harus dibenahi pemerintah,” pinta Rus’an.

Jadi, wajar, dong, kalau target lifting dalam beberapa tahun terakhir tidak tercapai.


***Sumber : KONTAN MINGGUAN 21 - XVII, 2012 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×