Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Perlambatan ekonomi memang membuat gamang. Tak terkecuali Bank Indonesia (BI). Hingga saat ini, otoritas moneter ini masih menimbang apakah akan fokus menjaga stabilitas ataukah mendorong pertumbuhan ekonomi di 2016.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, dalam menentukan arah kebijakan moneter, BI harus mewaspadai ekonomi dunia tahun depan yang bakal terdampak kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS) dan melesunya ekonomi China.
"Kami timbang-timbang dari aspek stabilitas dan pertumbuhan. Kami sedang pelajari," ujar Perry, Selasa (18/9).
Apalagi dua faktor eksternal tersebut saat ini sudah memberi dampak negatif pada nilai tukar rupiah. Berdasarkan kurs tengah BI, nilai tukar rupiah kemarin (20/8) bertengger di posisi Rp 13.838 per dollar AS. Dan pagi hingga siang hari ini, Kamis (21/8) rupiah sudah menembus 13.950 bahkan sembat jebol ke Rp 14.000 per dollar AS.
Nah, jika BI memutuskan untuk mengambil langkah kebijakan stabilitas, maka suku bunga acuan atawa BI rate akan ada di level lebih tinggi dari saat ini yang sudah mencapai 7,5%.
Sebenarnya, BI sudah mulai melakukan perubahan kebijakan dengan bauran kebijakan. Sebelumnya, kebijakan moneter dan makro prudensial diarahkan pada stabilitas. Dengan stabilitas, inflasi relatif terkendali dan defisit transaksi berjalan membaik. Ketika indikator inflasi dan defisit transaksi berjalan membaik, BI bisa melakukan relaksasi dengan melonggarkan kebijakan makro prudensial.
Di sisi moneter, Perry mengatakan, BI tetap fokus pada kebijakan stabilitas karena tekanan rupiah yang tak kunjung mereda.
Gubernur BI Agus Martowardojo menyatakan , proyeksi sementara BI tentang pertumbuhan ekonomi tahun depan di kisaran 5,4%-5,8%. Namun proyeksi terbaru akan disampaikan BI pada rapat dengan pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pekan depan.
Berharap pada investasi
Menurut Agus, sumber utama pertumbuhan tahun depan dari pembentukan modal tetap bruto alias investasi. Investasi diproyeksi berperan paling besar dengan kontribusinya pada pertumbuhan sebesar 6,9%-7,3%. Kemudian disusul oleh konsumsi rumah tangga yang diperkirakan tumbuh 4,9%-5,3%.
Asal tahu saja, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5%, lebih tinggi daripada outlook ekonomi tahun ini sebesar 5%-5,2%.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi ini, jelas pemerintah membutuhkan bantuan bank sentral demi merealisasikan target tersebut, utamanya untuk stabilitas nilai tukar dan inflasi.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro sebelumnya mengatakan, BI mempunyai ruang untuk menurunkan suku bunganya pada bulan Desember 2015. Meskipun begitu, kebijakan tersebut sepenuhnya tergantung dari keputusan BI.
Pemerintah pun tidak berniat melakukan intervensi agar BI mau menurunkan BI rate. "Mereka fokus pada stabilitas moneter. Kami tidak mau intervensi terhadap bank sentral," tandas Bambang.
Sementara itu, ekonom Bank Permata Josua Pardede memprediksi arah kebijakan BI pada tahun depan masih fikus menjaga stabilitas ekonomi. Dengan begitu, suku bunga tetap masih akan tinggi.
Bahkan, Josua memperkirakan suku bunga tahun depan berpeluang naik 25 basis poin menjadi 7,75%. Itu bisa terjadi saat The Fed kembali menaikkan suku bunganya secara berkelanjutan. Kenaikan BI rate ini akan diambil BI untuk menjaga rupiah karena pasar Indonesia masih bergejolak.
"Tahun depan kondisi eksternalnya lebih mendominasi," tutur Josua. Di sisi lain, BI perlu menjaga inflasi karena harga bahan bakar minyak (BBM) bisa saja naik sewaktu-waktu karena tergantung dari kebijakan pemerintah.
Maka dari itu, kebijakan untuk mendorong ekonomi tahun depan ada pada tangan pemerintah. Pemerintah harus bisa mulai menyerap anggarannya pada semester dua ini secara optimal agar bisa memberikan dampak pada ekonomi tahun depan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News