Reporter: Ratih Waseso | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengevaluasi kinerja DPR masa sidang (MS) I tahun sidang (TS) 2020-2021. Direktur Eksekutif Formappi, I Made Leo Wiratma menyoroti evaluasi pada fungsi legilasi dari DPR RI.
Made memaparkan, optimisme Ketua DPR yang ingin menyelesaikan seluruh RUU yang ada dalam Daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2020, hingga berakhirnya MS I dinilai tidak bisa tercapai.
DPR hanya mampu menyelesaikan 2 RUU Prioritas, yakni RUU Bea Meterai dan RUU Cipta Kerja. Dengan demikian DPR masih menyisakan 35 RUU Prioritas lainnya.
"Sebelas RUU diantaranya RUU yang masih mungkin bisa diselesaikan DPR hingga akhir tahun karena sudah memasuki tahapan pembentukan, mulai dari penyusunan hingga pembahasan, sedangkan 24 RUU lain yang belum digarap sama sekali sangat sulit diharapkan untuk bisa selesai," jelas Made saat Diskusi Virtual Evaluasi Kinerja DPR: Kinerja Abnormal di Era New Normal, pada Kamis (5/11).
Meski dinilai sulit selesaikan seluruh RUU hingga akhir tahun, DPR berhasil dalam setujui 5 RUU komulatif terbuka, diantaranya : (1) RUU APBN 2021; (2) RUU Kerja Sama antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Swedia di Bidang Pertahanan; (3) RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; (4) RUU tentang Protokol Untuk Melaksanakan Komitmen Paket Ketujuh Dalam Persetujuan Kerangka Kerja ASEAN di Bidang Jasa Keuangan; dan (5) RUU Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN 2019.
Adapun terkait RUU Cipta Kerja yang menuai kontroversi, Made menyebut ada beberapa catatan yang dibuat Formappi. Pertama, pernyataan Ketua DPR bahwa DPR akan membahas RUU tentang Cipta Kerja secara cermat, hati-hati, transparan, dan terbuka, tidak terbukti.
Baca Juga: Kemnaker klaim sudah rampungkan draf aturan turunan UU Cipta Kerja
"DPR justru tidak membuka ruang secara luas bagi partisipasi publik dalam pembahasan, sehingga memunculkan gelombang protes dan demonstrasi di berbagai daerah," jelas Made.
Kedua, beberapa rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang menghadirkan sejumlah kelompok untuk memberikan masukan ke DPR dinilai hanya merupakan partisipasi formalitas.
Made menyebut pembahasan dilakukan tergesa-gesa dalam waktu yang sangat singkat, bahkan di masa pandemi. "Hal ini tidak biasa (abnormal) karena pembahasan sebuah RUU biasanya membutuhkan waktu yang panjang, minimal tiga kali mada sidang," ujarnya.
Hingga akhirnya, menimbulkan berbagai dugaan di masyarakat bahwa pengesahan beberapa RUU termasuk RUU Cipta Kerja sarat kepentingan politik dan ada pesan sponsor dari pengusungnya.
"Selain RUU Cipta Kerja, beberapa RUU lain seperti RUU Minerba, RUU KPK, dan RUU MK bisa menjadi contoh bagaimana dorongan kepentingan sepihak DPR dan Pemerintah. Seringnya pembahasan RUU kontroversial seolah-olah menjadi era normal baru bagi DPR," ungkapnya.
Peneliti Legislasi Formappi, Lucius Karus menambahkan dengan satu sisa masa sidang dirasa mustahil 35 RUU dapat disahkan oleh DPR hingga akhir tahun. "Bahkan setengah, atau seperempatpun akan sangat sulit," tutur Lucius.
Selanjutnya: Soal UU Cipta Kerja, Bupati Tangerang sebut butuh percepatan investasi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News