Reporter: Adinda Ade Mustami, Choirun Nisa | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - Menjelang tiga tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) pada Oktober 2017, perekonomian masih berjalan lambat. Target pertumbuhan ekonomi di atas 6% seperti yang dijanjikan saat pemilihan presiden tiga tahun lalu nampaknya sulit tercapai.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada kuartal II tahun 2017 stagnan terhadap kuartal sebelumnya sebesar 5,01%. Bahkan, angka pertumbuhan ekonomi yang hanya sekitar 5% ini sudah bertahan sejak tahun 2013.
Meski demikian, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Industri Pangan Strategis Juan Permata Adoe menilai angka pertumbuhan ekonomi rata-rata 5% itu sudah lumayan bagus. Mengingat, kondisi ekonomi global juga tengah melambat.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia dibandingkan negara tetangga yang selama ini menjadi pesaing kuat, juga dinilai masih lebih bagus. Tahun 2016 misalnya, ekonomi Indonesia tumbuh 5,02% naik dari 2015 yang 4,79%, sedangkan Malaysia hanya tumbuh 4,3%, turun dari 4,97%, dan Thailand 3,23% naik dari 2,83%. "Situasi ekonomi di ASEAN dan regional dalam keadaan tertekan, tetapi Indonesia masih tetap tumbuh lebih baik," ujar Juan, Jumat (11/8).
Juan juga menilai, Jokowi-JK berhasil memberikan banyak terobosan-terobosan baru yang positif bagi pengusaha menengah dan kecil. "Adanya kebijakan ekonomi kreatif, terobosan pengendalian harga pangan, sektor migas dan listrik, pengalihan subsidi untuk infrastruktur, pengurusan izin investasi bisa selesai dalam 30 menit, itu positif semua," kata Juan memuji.
Namun begitu, Juan juga menilai Jokowi-JK masih punya banyak pekerjaan rumah (PR). Pekerjaan rumah yang harus diselesaikan terutama di bidang hukum dan kepastian berbisnis. "Biar industri dan usaha dapat berkelanjutan serta mendapat kepastian untuk jangka panjang, infrastruktur hukum harus dibenahi," tandas Juan.
Banyak PR
Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih juga menilai kebijakan ekonomi Jokowi-JK sudah baik. Namun, dibandingkan dengan apa yang diharapkan, memang masih belum seluruhnya tercapai dengan baik.
Salah satunya target gini ratio yang ditetapkan sebesar 0,38, realisasinya masih 0,393. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang ditargetkan 70,8, masih berada di sekitar 71. Tingkat pengangguran yang ditetapkan 5,5%, saat ini masih ada di kisaran 6%. "Kalau dilihat dari target pembangunan dalam APBN saja, masih jauh, masih ada gap. Apalagi jika dibandingkan dengan target Nawacita," kata Lana kepada KONTAN, Minggu (13/8).
Dari sisi APBN, target pemerintah dinilai terlalu ambisius. Akibatnya, target penerimaan pajak sering meleset. Hal ini juga karena beberapa kebijakan pemerintah yang kurang tepat momentumnya. Misalnya, penerapan kebijakan amnesti pajak saat ekonomi tengah melambat. Akibatnya, pelaksanaan kebijakan tersebut tidak terlalu berhasil dan bahkan menjadi alasan kelesuan kegiatan usaha saat ini. "Karena si pelaku usaha membayar tax amnesty sehingga spending belanja modal dikurangi," tambah Lana.
Lana berharap, dalam dua tahun pemerintahan Jokowi-JK nanti, pemerintah bisa membuat terobosan kebijakan. Khususnya, kebijakan pendorong permintaan domestik dan mencapai target pembangunan.
Sementara itu Ekonom Maybank Juniman bilang, daya beli masyarakat yang menurun selama tiga tahun terakhir menjadi PR Jokowi-JK. Tahun 2014, konsumsi rumah tangga masih mampu tumbuh 5,14%, namun turun ke 4,96% tahun 2015. Lalu di tahun 2016, pertumbuhan konsumsi naik tipis ke 5,01%. Juniman memperkirakan pertumbuhan konsumsi rumah tangga tahun ini hanya akan mencapai 4,97%.
PR lainnya adalah pengeluaran pemerintah selama tiga tahun terakhir yang relatif sama, kencang di kuartal dua dan tiga. Namun, melambat pada kuartal keempat karena kondisi penerimaan negara yang di bawah ekspektasi. "Perencanaan pemerintah harusnya dibuat kredibel mungkin, agar membuat investor percaya," tambah Juniman.
Ekonom SKHA Institute for Global Competitiveness Eric Sugandi juga sependapat, pemerintah harus memperbaiki pengelolaan keuangan negara. Perencanaan belanja infrastruktur selama ini terlalu ambisius. Akibatnya, defisit anggaran membengkak dan mempercepat penambahan utang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News