Reporter: Fahriyadi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - LABUAN BAJO. Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China diprediksi belum akan selesai tahun depan dan akan mempengaruhi ekonomi global secara keseluruhan, termasuk Indonesia.
Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto mengatakan, akibat perang dagang, AS dan China diprediksi akan mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi di tahun 2020. Ekonomi AS diproyeksi tahun depan hanya tumbuh 2% sedangkan China hanya 6% dibandingkan proyeksi tahun ini yang masing-masing 2,3% dan 6%.
Adapun pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 diprediksi 5,1%-5,5% atau lebih baik ketimbang prediksi tahun ini 5,1%.
Baca Juga: Bank Indonesia lebih optimistis proyeksi pertumbuhan ekonomi 2020
"Setiap penurunan pertumbuhan ekonomi AS sebesar 1% akan menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia 0,05% dan penurunan pertumbuhan ekonomi China sebesar 1% akan memangkas pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,27%. Jadi bila kedua negara ini ekonominya turun masing-masing 1%, Indonesia akan kehilangan pertumbuhan ekonomi 0,32%," ujar Ryan dalam diskusi, Senin (9/12).
Sejauh ini AS kerap dikabarkan akan memasuki masa resesi. Namun, dia bilang AS belum masuk masa resesi karena dari 12 indikator perlambatan ekonomi AS hanya ada tiga indikator ekonomi yang berwarna merah alias tanda bahaya.
Pertama, suku bunga obligasi dengan tenor dua tahun lebih tinggi ketimbang obligasi 10 tahun. Kedua, penurunan harga komoditas seperti kedelai yang memukul ekspor AS. Ketiga, permintaan barang dari dalam negeri AS yang mengalami penurunan.
Sedangkan, indikator lain yakni margin keuntungan korporasi yang relatif turun dalam tahap waspada atau lampu kuning. Sedangkan faktor truck shipment alias aktivitas bongkar muat dan pengiriman barang di AS masih baik atau lampu hijau.
Sedangkan China mengalami perlambatan ekonomi lantaran terlalu bergantung pada ekspor. Dalam era perang dagang saat ini, sulit mengandalkan ekspor sebagai sumber pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: Jepang menaikkan angka PDB kuartal ketiga menjadi 1,8%
Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) sebelumnya pernah menyebut perlambatan ekonomi terjadi bukan karena siklus tapi bisa terjadi kapan saja karena faktor disrupsi, bukan hanya teknologi tapi juga kebijakan kepemimpinan sebuah negara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News