kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ekonom: UU Cipta Kerja akomodir kebutuhan calon pekerja dan pekerja


Rabu, 16 Desember 2020 / 11:14 WIB
Ekonom: UU Cipta Kerja akomodir kebutuhan calon pekerja dan pekerja
ILUSTRASI. Pekerja menyelesaikan pembuatan perangkat alat elektronik rumah tangga


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

Piter juga menyinggung, apakah UU Cipta Kerja merugikan pekerja? Menurutnya, bicara UU Cipta Kerja tidak bisa terlepas dari perspektif pekerja dan calon pekerja. Artinya, UU Cipta Kerja jelas ada perspektif yang ditujukan untuk melindungi pekerja dan calon pekerja, baik dalam jangka pendek maupun jangka penjang.

Berdasarkan data, Indonesia mengalami peningkatan angkatan kerja sebanyak 3 juta per tahun. Dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 5 %, di mana dari setiap 1 % ekonomi hanya bisa menyerap pertumbuhan  250.000  angkatan kerja baru.

Artinya, kalau pertumbuhan ekonomi hanya 5 %, maka hanya bisa menyerap sekitar 1.250.000  angkatan kerja baru. Berarti, ada sekitar 1.750.000 masyarakat Indonesia yang baru lulus kuliah dan lulus SMK yang termasuk angkatan tenaga kerja baru yang tidak akan terserap.

“UU Cipta kerja ini adalah perspektif calon pekerja, itu utamanya. Karena dia akan menciptakan investasi dan menciptakan lapangan kerja. Yang akan mengakomodasi kebutuhan calon pekerja, bukan pekerja. Setiap tahun berapa calon pekerja yang muncul, mereka harus disiapkan pekerjaan-pekerjaan baru,” jelasnya.

Piter juga menjelaskan, dalam UU Cipta Kerja, pesangon pekerja yang kena PHK memang dikurangi, tapi tidak merugikan bagi pekerja. Kenapa tidak merugikan? karena dibalik penurunan ini, ada kepastian bahwa itu akan terbayarkan.

Menurutnya, mana yang lebih menguntungkan, dikasih iming-iming pesangon 32 kali tapi tidak bibayar atau pesangon 25 kali tapi pasti terbayar. “Saya pasti milih yang 25 kali,” tegasnya.

Kenapa ini pasti akan dibayar, tegas Piter, karena klausulnya tidak lagi menjadi perdata, tapi pidana. Artinya, kalau perusahaan tidak membayar pesangon maka dia terkena kasus pidana dan bisa dipidanakan. Dia juga menjelaskan perbedaan antara perdata dan pidana.

Baca Juga: Wamendag sebut WTO apresiasi dan sambut positif paparan UU Cipta Kerja

Menurutnya,kalau perdata persoalannya bisa panjang dan bebannya ada di pekerja. Kalau perusahaannya tetap tidak bersedia membayar, maka pihak pekerja harus menuntut dan biayanya ada pada pihak penuntut.

“Tapi kalau itu pidana, maka pengusaha berhadapan dengan negara. Artinya, negara ada di depan para pekerja, melindungi pekerja, berhadapan dengan para pengusaha. Bagaimana mungkin kita mengatakan pemerintah tidak berpihak pada pekerja, ini kan jelas-jelas negara berpihak kepada pekerja. Dalam hal pesangon jumlahnya memang turun tapi diberikan kepastian,” jelasnya.

UU Cipta Kerja juga melindungi pekerja dalam kontek PHK. Dalam Pasal 151 UU Cipta Kerja disebutkan , perusahaan pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah harus mengupayakan tidak terjadi PHK.

Dana kalaupun terjadi PHK dan pekerja menolak, maka harus dilakukan perundingan bipartit. Jika belum mencapai kesepakatan maka harus dilakukan dengan  penyelesaikan perselisihan hubungan industri. Artinya, Ini jelas sekali tidak ada ruang pengusaha untuk melakukan tindakan sewenang-wenang kepada pekerja.

Dalam Pasal 153 disebutkan bahwa perusahaan dilarang melakukan PHK karena pekerja sakit selama tidak lebih 12 bulan, menjalankan ibadah, menikah, hamil, melahirkan atau gugur kandungan, dan beberapa hal lainnya. Ini merupakan bukti jika  pemerintah melindungi pekerja.

“UU Ciptaker adalah UU yang sangat baik. UU ini memang belum sempurna tapi pemerintah sudah memberikan kesempatan untuk memberikan masukan. Masih ada proses yang masih berjalan, pembahasan turunan UU,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×