Reporter: Benedicta Prima | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom Permata Bank Josua Pardede memproyeksikan neraca perdagangan Januari 2019 defisit sekitar US$ 777 juta. Menurun bila dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat defisit US$ 1,1 miliar.
"Laju ekspor diperkirakan turun 0,12% year on year (yoy) dan laju impor diperkirakan tumbuh 0,02% year on year," jelas Josua saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (14/2).
Laju impor diperkirakan akan flat dibandingkan Januari 2018 mengingat impor non-migas khususnya bahan baku cenderung melandai. Disebabkan aktivitas manufaktur di awal tahun yang menurun sejalan dengan siklus tiap tahunnya.
Sementara impor migas juga cenderung menurun sejalan dengan stabilnya harga minyak dunia di kisaran US$ 50 per barel.
Di sisi ekspor, laju bulanannya masih lebih rendah daripada impor, dipengaruhi oleh penurunan volume ekspor. Hal ini terindikasi dari tren melambatnya aktivitas manufaktur mitra dagang utama seperti Jepang, Tiongkok dan Eropa.
Meskipun beberapa harga komoditas ekspor cenderung naik seperti crude palm oil (CPO) tumbuh 12,5% secara bulanan, karet alam tumbuh 7,2% secara bulanan. Sedangkan harga batubara turun 2,8% secara bulanan.
Josua juga memberi evaluasi mengenai kondisi tahun lalu. Laju total impor non-migas Indonesia tahun 2018 20% yoy meningkat dari tahun sebelumnya yang tercatat tumbuh 14% yoy.
Kondisi ini menunjukkan bahwa aktivitas investasi domestik cenderung meningkat mengingat daya saing industri pengolahan dalam negeri yang belum dapat mensuplai permintaan domestik.
Sementara itu laju total ekspor non-migas cenderung menurun dari 17% yoy pada 2017 menjadi 6% yoy pada 2018. Ini mengindikasikan ekspor masih mengandalkan harga komoditas di pasar internasional sementara volume cenderung melambat karena perlambatan ekonomi China.
Tercatat impor non-migas Indonesia dari Tiongkok cenderung meningkat, tercatat tumbuh 28% yoy ketimbang tahun sebelumnya yang tercatat hanya 11% yoy.
Sementara itu, laju ekspor non-migas Indonesia ke Tiongkok tahun 2018 tercatat melambat menjadi 14% yoy dari 41% yoy pada 2017.
"Ke depannya, tantangan defisit perdagangan masih cukup tinggi mempertimbangkan perlambatan ekonomi Tiongkok dan mitra dagang utama lainnya seperti AS dan Eropa," ujar Josua.
Kondisi tersebut akan memburuk apabila ekskalasi perang dagang meningkat sehingga AS dan Tiongkok akan tetap menerapkan perang tarif impor yang pada akhirnya memperlambat ekonomi global dan volume perdagangan global.
Oleh sebab itu, daya saing ekspor perlu ditingkatkan dengan mendorong kembali industri pengolahan sehingga nilai ekspor non-migas meningkat.
Selain itu, investasi di energi baru terbarukan mesti didorong dalam rangka menekan gap supply-demand energi khususnya minyak bumi yang masih menjadi pendorong tingginya impor migas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News