kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.430.000   -10.000   -0,69%
  • USD/IDR 15.243   97,00   0,63%
  • IDX 7.905   76,26   0,97%
  • KOMPAS100 1.208   12,11   1,01%
  • LQ45 980   9,43   0,97%
  • ISSI 230   1,69   0,74%
  • IDX30 500   4,71   0,95%
  • IDXHIDIV20 602   4,65   0,78%
  • IDX80 137   1,32   0,97%
  • IDXV30 141   0,53   0,38%
  • IDXQ30 167   1,08   0,65%

Ekonom: Pembentukan Family Office Cuma FOMO


Rabu, 31 Juli 2024 / 14:14 WIB
Ekonom: Pembentukan Family Office Cuma FOMO
ILUSTRASI. Ekonom menilai pembentukan family office terkesan Fear Of Missing Out (FOMO) alias takut ketinggalan.


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah nampaknya semakin yakin untuk membentuk family office, dengan harapan orang-orang kaya di luar negeri mau menempatkan dananya di Indonesia. Bahkan, rencana tersebut diharapkan rampung sebelum Oktober 2024.

Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menyebut, pembentukan family office  terkesan Fear Of Missing Out (FOMO) alias takut ketinggalan jika tidak mengikuti aktivitas yang sama, karena negara lain yang menerapkan hal serupa dan dianggap berhasil.

“Tetapi, seolah jika kita terapkan di Indonesia, kita pun akan berhasil. Padahal Indonesia unik, penuh keterbatasan dan tantangan,” tutur Samirin kepada Kontan, Rabu (31/9).

Sebagai informasi, negara-negara yang menerapkan family office seperti Singapura, Hongkong dan Uni Emirat Arab. Bahkan kemungkinan pemerintah juga akan mengambil contoh benchmark dari negara-negara tersebut memilah mana yang paling menguntungkan.

Baca Juga: Golden Visa Antara Menarik Investasi atau Mengulangi Kesalahan Negara Lain?

Samirin melihat, untuk menarik investasi yang banyak dan berkualitas, pada dasarnya Indonesia membutuhkan kebijakan yang sederhana, tetapi dijalankan dengan sempurna, dan bukan kebijakan yang aneh, macam-macam, dan rumit, tetapi dijalankan secara ala kadarnya.

“Kita suka lompat dari satu hal ke hal lain. Hobby mengeluarkan kebijakan baru, tanpa berpikir panjang. Sikap me too atau FOMO sangat kental. Berbagai kendala terkait kereta cepat, IKN, Kertajati, Tapera, hilirisasi nikel dan lain-lain perlu menjadi pembelajaran penting,” ungkapnya.

Ia melihat, kelemahan dalam menerapkan suatu kebijakan di Indonesia adalah ketekunan dalam menyusun kebijakan yang sesuai kebutuhan, double dan teruji. Namun sebaliknya, pemerintah hobi mengeluarkan kebijakan baru tanpa menyempurnakan kebijakan sebelumnya.

“Jika tidak jalan, ada tendensi dikeluarkan kebijakan baru atau membuat institusi baru; seolah jika kebijakan atau institusi baru dikeluarkan/dibentuk, permasalahan akan tuntas,” tambahnya.

Samirin berpendapat, kebijakan Family Office sulit berhasil dijalankan di Indonesia. alasannya karena, keluarga super kaya di dunia sudah sangat canggih, mereka tahu cara berinvestasi di berbagai negara dan tahu risiko tiap negara.

Dengan begitu, tanpa memperbaiki iklim investasi di dalam negeri, dana yang masuk bisa jadi dana berisiko tinggi atau dana hasil aktifitas hitam alias abu-abu yang justru merugikan ekonomi dalam negeri, dan ujung-ujungnya perekonomian akan semakin rentan dan ketimpangan yang semakin tinggi.

Samirin berharap agar pemerintah Presiden Joko Widodo saat ini berpikir ulang terkait rencana pembentukan family office.

“Presiden Jokowi juga harus fair kepada pemerintahan Prabowo, jangan di injury time seperti saat ini, justru mengeluarkan ide-ide yang berpotensi membebani pemerintah mendatang,” ungkapnya.

Idealnya, kata Samirin, fokus pemerintahan Presiden Jokowi saat ini justru harus menuntaskan program yang sudah ada dan mempersiapkan jalan bagi pengganti, sejalan dengan situasi ekonomi Indonesia yang makin memburuk.

Baca Juga: Setoran Pajak Orang Super Kaya Dinilai Minim, Ini Pemicunya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management Principles (SCMP) Mastering Management and Strategic Leadership (MiniMBA 2024)

[X]
×