kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ekonom Meramal Surplus Neraca Perdagangan Turun Tipis di Juli 2022


Minggu, 14 Agustus 2022 / 12:58 WIB
Ekonom Meramal Surplus Neraca Perdagangan Turun Tipis di Juli 2022


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Neraca perdagangan Indonesia diperkirakan masih akan mencetak surplus. Namun, Bank Central Asia (BCA) melihat surplus neraca dagang akan menyusut pada Juli 2022 ketimbang bulan sebelumnya.

Kepala Ekonom Bank BCA David Sumual meramal surplus neraca perdagangan Indonesia pada Juli 2022 hanya sebesar US$ 4,55 miliar, atau menyusut dari surplus Juni 2022 yang mencapai US$ 5,09 miliar. 

Menurut perkiraan David, surplus neraca perdagangan pada Juli 2022 ini didorong oleh kinerja ekspor yang masih cukup baik yang ditopang oleh ekspor batubara yang harganya masih relatif tinggi. Pertumbuhan ekspor pada Juli 2022 diperkirakan mencapai 30,65% year on year (yoy), atau lebih kecil dari capaian Juni 2022 yang mencapai US$ 40,67% yoy.

"Ekspor komoditas lain cenderung melemah seiring penurunan harganya," ujar David kepada Kontan.co.id, Minggu (14/8).

Baca Juga: Ekonom Bank Mandiri Memperkirakan Surplus Neraca Dagang Menyusut di Juli 2022

Sementara untuk impor, David memperkirakan pada Juli 2022 akan mengalami pertumbuhan sebesar 22,98% yoy dibandingkan dengan Juni 2022 yang hanya sebesar 21,98%. Hal ini dikarenakan kinerja impor terutama bahan baku mengalami penguatan seiring adanya perbaikan mobilitas seiring dengan membaiknya pandemi Covid-19, serta kepercayaan (confidence) masyarakat dalam berbelanja yang juga meningkat.

Dihubungi terpisah, Kepala Ekonom Bank Negara Indonesia (BNI) Sekuritas Damhuri Nasution memperkirakan surplus neraca perdagangan Indonesia pada Juli 2022 juga mengalami penyusutan, yaitu dari US$ 5,09 miliar pada Juni 2022 menjadi US$ 4,2 miliar pada Juli 2022.

Menurut Damhuri, harga komoditas global masih akan mendukung kinerja ekspor Indonesia. Namun kekhawatiran resesi global juga akan mempengaruhi kinerja ekspor pada Juli 2022. Damhuri meramal, pertumbuhan ekspor pada Juli 2022 mencapai US$ 25,5 miliar, atau menurun dari capaian pada Juni 2022 yang sebesar US$ 26,09 miliar.

Baca Juga: Kokoh di Atas 7.100 Meski Tergerus Profit Taking, Ini Arah IHSG Selanjutnya

Proyeksi tersebut disebabkan oleh mulai menurunnya harga komoditas unggulan Indonesia ditingkat global, seiring bertambahnya gejolak ekonomi yang penuh ketidakpastian.

"Indeks harga komoditas ekspor Indonesia terbaru turun 15% mom, meskipun masih mencatatkan 113,7% secara tahunan. Harga bulanan untuk batubara dan nikel sedikit meningkat, sementara harga minyak sawit, karet, tembaga, dan emas mengalami penurunan," ujar Dahmuri kepada Kontan.co.id, Minggu (14/8).

Sebagai catatan, pemerintah menghapuskan pungutan ekspor crude pailm oil (CPO) dan produk turunannya untuk sementara hingga akhir Agustus 2-022 guna mendongkrak nilai ekspor minyak sawit.

"Oleh karena itu, kami berharap ekspor akan tetap tangguh dalam jangka pendek," kata Damhuri.

Baca Juga: Indonesia Diprediksi Masih Dalam Siklus Pemulihan Ekonomi di Semester II-2022

Sementara untuk impor, Damhuri memperkirakan pada Juli 2022 sedikit menguat US$ 21,3 miliar dibandingkan dengan Juni 2022 yang hanya US$ 21,00 miliar. Hal ini tidak terlepas dari Purchasing Manager's Index (PMI) Manufaktur Juli 2022 yang meningkat di angka 51,3 yang menandakan adanya peningkatan impor bahan baku dan barang modal untuk produksi dalam negeri.

Di sisi harga, inflasi Juli 2022 meningkat lebih cepat sebesar 0,64% mom, meningkat dibandingkan dengan inflasi pada bulan sebelumnya yang tercatat 0,61% mom. Atau secara tahunan tercatat 4,94% yoy. Tekanan harga tersebut meningkat akibat terbatasnya pasokan bahan makanan, kenaikan harga tiket pesawat, penyesuaian harga liquefied petroleum gas (LPG) nonsubsidi dan tarif listrik.

"Langkah moneter agresif yang diambil oleh beberapa bank sentral untuk memerangi peningkatan inflasi telah menyebabkan kekhawatiran akan risiko resesi yang lebih tinggi," kata Damhuri. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×