kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45892,58   -2,96   -0.33%
  • EMAS1.324.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ekonom menilai tenor SBN dalam skema burden sharing sudah cukup ideal


Jumat, 24 Juli 2020 / 18:21 WIB
Ekonom menilai tenor SBN dalam skema burden sharing sudah cukup ideal
ILUSTRASI. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kiri) didampingi Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo (kanan), menyampaikan keterangan pers seusai menggelar rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (22/1). Rapat


Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) khusus ke Bank Indonesia (BI) dalam skema pembagian beban (burden sharing) mulai pekan depan. 

SBN yang akan diterbitkan ini, akan memiliki tenor 5 tahun sampai 8 tahun, sesuai dengan kesepakatan yang ada di dalam SKB II. Penerbitannya juga akan dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan belanja public goods

Baca Juga: Pemerintah belum berencana terbitkan global bond Lagi di semester II

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, pemilihan tenor antara 5 tahun sampai 8 tahun sudah cukup ideal. Pasalnya, apabila dilihat dari sisi waktu perbandingan dengan tenor penerbitan SBN secara konvensional, range waktu 5-8 tahun berada pada kisaran nilai tengah. 

"Di sisi lain, tenor waktu ini juga sudah memperhatikan masa konsolidasi ekonomi selama 2 tahun ke depan," ujar Yusuf kepada Kontan.co.id, Jumat (24/7). 

Yusuf melanjutkan, berdasarkan dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) yang diterbitkan pemerintah, masa dua tahun ke depan merupakan masa konsolidiasi ekonomi. 

Jadi artinya, dengan tenor 5 tahun sampai 8 tahun, pemerintah juga sudah mengakomodasi masa konsolidasi, tetapi juga tidak mengambil proporsi besar dari SBN konvesional yang selama ini peminatnya lebih banyak ke tenor di bawah 5 tahun dan juga di atas 7 tahun. 

Baca Juga: Pemerintah akan tarik pinjaman US$ 5,5 miliar di semester kedua ini

"Hal yang perlu diperhatikan dalam penerbitan private placement ini, tentu bagaimana penentuan yield atau imbal hasil saja. Di satu sisi, pemerintah dan BI perlu punya kesepahaman berapa angka ideal imbal hasil yang bisa ditawarkan BI, karena ini kemudian yang akan menentukan beban ke keberlanjutan fiskal di kemudian hari," paparnya. 

Di sisi lain, kesepahaman ini juga dinilai penting sebagai rujukan pertanggungjawaban pemerintah ketika di kemudian hari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan laporan keuangan. 

Di dalam hal ini, Yusuf menilai angka yield idealnya berada dalam kisaran suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate. Apabila mengacu pada suku bunga acuan saat ini yang berada pada kisaran 4%, maka imbal hasil bisa berada di kisaran 3% sampai dengan 5%," kata Yusuf. 

Baca Juga: Belanja perpajakan tahun 2019 mencapai Rp 250 triliun, berapa di tahun ini?

Menurutnya, angka ini relatif masih aman dalam keberlanjutan pembiayaan fiskal di tahun-tahun mendatang. 

Kemudian, terkait dengan intensitas penerbitan SBN, Yusuf menyarankan agar implementasinya disesuaikan saja dengan kondisi di pasar sekunder. Artinya, apabila memang kondisi pasar mengarah kepada capital outflow, maka penerbitan private placement bisa dilakukan lebih intens misalnya 1 kali sampai 2 kali dalam sebulan. 

Namun, apabila kecenderungan pasar mengarah ke capital inflow, maka penerbitannya bisa lebih renggang. Dengan kata lain, intensitas penerbitan ini perlu dibuat fleksibel sesuai dengan kebutuhan pemerintah. 

Baca Juga: Pemerintah akan terbitkan SBN Rp 900,4 triliun di semester II-2020

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Accounting Mischief Practical Business Acumen

[X]
×