Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati asumsi ekonomi makro dalam Pembahasan Pendahuluan RAPBN 2020, Senin (17/6). Pertumbuhan ekonomi tahun depan diperkirakan di kisaran 5,2% - 5,5%, atau lebih rendah dari proyeksi pemerintah sebelumnya yaitu 5,3% - 5,6%.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai, penurunan rentang target pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2020 tersebut cukup realistis. Meski telah diturunkan, Eko memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan akan lebih mengarah ke batas bawah yaitu 5,2%.
Dari sisi global, perlambatan ekonomi dunia dan perang dagang menjadi faktor yang tak terhindarkan. Namun, tantangan secara domestik juga masih besar terutama terkait kondisi neraca dagang dan neraca transaksi berjalan.
“Skenario pemerintah pertumbuhan tahun depan didorong oleh laju ekspor yang seimbang dengan laju impor. Padahal kenyataannya sekarang, laju impor masih lebih tinggi daripada ekspor,” kata Eko kepada Kontan.co.id, Senin (17/6).
Efek perang dagang, lanjutnya, turut menjadi penyebab prospek kinerja neraca dagang yang lebih buruk. Bukan hanya ekspor barang-barang Indonesia yang menurun ke negara tujuan utama yaitu AS dan China, tapi juga potensi banjirnya barang-barang negara yang terlibat perang dagang masuk ke Indonesia.
Sementara dari sisi investasi, Eko menilai target pemerintah memacu pertumbuhan investasi ke kisaran 7% - 7,4% juga cukup menantang. Kecuali, Indonesia mampu mempercantik iklim investasi sehingga berdaya saing dengan negara lain seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia.
Perang dagang, menurutnya, tak berarti merugikan di segala sisi. Justru, Indonesia sebenarnya bisa menangkap peluang investasi serupa dengan negara-negara berkembang lainnya.
“Caranya pemerintah fokus mempermudah dan mempermurah investasi di dalam negeri. Mempermudah misalnya, terkait birokrasi perizinan dan prosedur investasi, regulasi, dan semacamnya yang sebenarnya berada dalam kendali pemerintah,” tutur Eko.
Sementara untuk mempermurah biaya investasi, salah satunya melalui kebijakan suku bunga acuan. Eko berpendapat, BI semestinya tak terlalu main aman dalam rangka menstabilkan nilai tukar rupiah semata. Sebab, penurunan suku bunga saat ini penting untuk memberi dorongan pada sektor riil yang kemudian berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Apalagi, bank-bank sentral dunia mulai menunjukkan kebijakan moneter yang lebih longgar dalam rangka mencegah dampak perlambatan ekonomi global. “Kalau The Fed menurunkan suku bunga acuannya, harusnya BI mengikuti dan ini akan memberikan sinyal penting bagi pasar bahwa BI mendukung pertumbuhan,” pungkas Eko.
Senada, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani berharap, laju penanaman modal dalam negeri (PMDN) tahun depan akan terbatasi oleh level suku bunga acuan Indonesia yang tinggi.
“Tidak semua perusahaan berani menanggung beban biaya pinjaman usaha yang tinggi di Indonesia. Perusahaan biasanya lebih prefer pinjam modal asing karena biaya bunga pinjamannya jauh lebih murah,” kata Shinta kepada Kontan.co.id, Senin (17/6).
Sementara ia memandang, target pertumbuhan ekonomi Indonesia dan pertumbuhan investasi sangat bergantung pada faktor penanaman modal asing (PMA) dan PMDN oleh swasta. Adapun, proyeksi pemerintah menggenjot pertumbuhan investasi ke level 7%-7,4% menurut Shinta masih terlalu dini untuk dapat diproyeksikan.
“Banyak investor yang masih menunggu kelanjutan fluktuasi hubungan dagang AS-China, khususnya menjelang G20 Summit. Pemerintah mesti hati-hati dalam menetapkan target,” ujar Shinta.
Dari sisi upaya penciptaan lapangan kerja, Eko memandang korelasi target pertumbuhan ekonomi dengan penyerapan tenaga kerja akan sangat bergantung pada sektor-sektor industri apa saja yang menjadi perhatian utama pemerintah dalam mendorong pertumbuhan.
“Kalau fokusnya di sektor padat modal seperti transportasi, komunikasi, itu tidak akan banyak menyerap tenaga kerja. Tapi kalau dorong industri manufaktur, perdagangan, dan pertanian, sudah tentu akan berdampak ke penyerapan tenaga kerja,” ujar Eko.
Sebelumnya, Ekonom Indef Abdul Manap Pulungan juga berpendapat, target pemerintah mencapai tingkat pengangguran 4,8%-5,1% cukup berat seiring dengan perlambatan pertumbuhan sektor industri manufaktur.
Industri makanan dan minuman, misalnya, hanya tumbuh 6,77% di kuartal I-2019 jauh lebih rendah dibandingkan periode sama tahun lalu yaitu 12,77%.
Selain itu, porsi tenaga kerja informal juga mencapai 57,27% pada kuartal I-2019. “Sekitar 30% tenaga kerja merupakan pekerja paruh waktu dan pekerja setengah penganggur, yang rentan terjebak dalam pengangguran,” ujar Abdul belum lama ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News