Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) menilai, kebijakan yang sudah dikeluarkannya selama ini belum cukup ampuh menekan laju impor, terutama impor minyak dan gas bumi (migas).
Padahal, untuk tahun ini saja BI sudah menaikan BI rate sebanyak tiga kali, tujuannya supaya tingkat konsumsi dalam negeri melambat dan impor bisa ditekan.
Karena itu, bank sentral memberi sinyal kemungkinan suku bunga acuan BI (BI rate) kembali naik. Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adhytaswara mengatakan, upaya untuk menekan jumlah impor masih harus dilakukan.
Hal itu supaya permasalahan utama yang membelit ekonomi negeri ini, yaitu Current Account Deficit bisa segera terselesaikan. “Ke depan perlu ada langkah yang konsisten supaya impor bisa ditekan,” kata Mirza.
Sementara itu, ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti berpendapat, dengan menaikan BI rate impor migas tetap tidak akan turun signifikan. Impor migas hanya bisa turun bila pemerintah bisa menekan konsumsi BBM bersubsidi.
“Mungkin kalau impor barang konsumsi masih bisa menggunakan instrumen BI rate, tetapi kalau migas menurut saya tidak mungkin pakai instrumen itu,” ujarnya.
Selain itu, Destry juga melihat inflasi sudah kembali ke pola yang normal, setelah mengalami deflasi di bulan September 2013 lalu. Hal itu menunjukan tidak ada tekanan dari sisi inflasi yang mengharuskan BI rate kembali dinaikan.
Ekonom Samuel Asset Management, Lana Soelistyaningsih sependapat dengan Destry. Ia mengatakan, meskipun BI menunjukkan gelagat akan menaikan BI rate, pihaknya berharap hal itu tidak dilakukan. Sebab, kenaikan BI rate pada saat ini hanya akan membuat pertumbuhan ekonomi semakin melambat.
Meskipun pemerintah ingin menekan Current Account Deficit atau defisit neraca transaksi berjalan, tetapi bila menaikan BI hanya akan membuat produktifitas dalam negeri turun.
Lana bilang, pertumbuhan ekonomi yang melambat memang akan menekan current account deficits, tetapi kalau terlalu rendah tentu tidak bagus juga.
Lain lagi dengan David Sumual, ekonom Bank Central Asia (BCA). Menurutnya jika melihat kondisi ekonomi global, dimana tidak terlalu tinggi tekanan global yang dirasakan Indonesia, seharusnya bisa direspons dengan tetap menahan BI rate di level 7,25%.
Terkait proyeksi kondisi ekonomi di kuartal terakhir, Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memperkirakan, kondisi fiskal dalam kuartal terakhir ini akan membaik.
Defisit transaksi berjalan diperkirakan bisa berada di kisaran 3,3%-3,5% terhadap PDB. Selain itu paket kebijakan yang sudah dikeluarkan pada bulan Agustus juga sudah mulai terasa dampaknya.
Sementara dari sisi moneter, Direktur INDEF Enny Sri Hartati menilai, BI harus mengeluarkan kebijakan yang bisa memperkuat sektor keuangan perbankan. Supaya, nilai tukar rupiah bisa lebih stabil, bisa menekan inflasi agar tetap dijaga dilevel yang manageble. Enny memperkirakan nilai tukar rupiah berada di level Rp 11.000 per US$.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News