kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45922,10   12,79   1.41%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ekonom: Beda dengan krisis 1998, likuiditas perbankan saat ini sangat kuat


Jumat, 20 November 2020 / 08:50 WIB
Ekonom: Beda dengan krisis 1998, likuiditas perbankan saat ini sangat kuat
ILUSTRASI. Meski perekonomian Indonesia tengah mengalami resesi, namun sektor jasa keuangan terbilang solid. Kontan/Panji Indra


Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meski perekonomian Indonesia tengah mengalami resesi, namun sektor jasa keuangan terbilang solid. Menurut Ekonom Senior dari The Indonesia Economic Intelligence (IEI) Sunarsip, perbankan yang menjadi jangkar sektor keuangan bahkan menunjukkan likuiditas yang lebih kuat. 

Dia bilang, hal ini merupakan hasil nyata efektifnya concerted effort atau kolaborasi yang baik antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pemerintah, Bank Indonesia (BI), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

"Saat ini, industri perbankan memiliki likuiditas yang sangat kuat. Kondisi ini sangat berbeda dengan krisis 1998 di mana perbankan nasional mengalami kekeringan likuiditas dan pasar uang antarbank sangat ramai, bahkan bunga yang ditetapkan cukup tinggi," paparnya dalam keterangan tertulis kepada Kontan.

Sunarsip menilai, kondisi ini menunjukkan kebijakan pre-emptive dan pengawasan industri perbankan sudah dijalankan dengan baik oleh OJK. Meski di sisi lain, penyaluran kredit perbankan baru tumbuh tipis, sehingga harus terus didorong.

Baca Juga: Ini sederet tantangan bagi Indonesia untuk jadi negara maju

Menurut Sunarsip, soliditas sektor perbankan ini bisa memberikan rasa confidence bagi pelaku usaha, regulator, maupun pemerintah dalam upaya pemulihan ekonomi nasional. Dia menjelaskan, kekuatan likuiditas perbankan ini tecermin dari rasio alat likuid terhadap non core deposit (AL/NCD) dan alat likuid terhadap pihak ketiga (AL/DPK).

Mengutip data OJK, per Oktober 2020, rasio alat likuid terhadap non core deposit di posisi di level 154,14%  dan rasio alat likuid terhadap pihak ketiga 32,94%. 

Posisi ini meningkat dari periode Maret 2020 ketika Indonesia memasuki awal pandemi, di mana rasio alat likuid terhadap non core deposit di posisi 112,9% dan rasio alat likuid terhadap pihak ketiga 24,16%. 

Baca Juga: Begini upaya mengejar pertumbuhan ekonomi 5% tahun 2021 menurut ekonom BCA

Sementara, batas bawah yang ditetapkan adalah di level 50% untuk AL/NCD dan AL/DPK 10%. 

"Artinya, likuiditas perbankan saat ini memang sangat kuat," jelasnya.

Sunarsip menjelaskan, kekuatan likuditas perbankan tersebut akan bisa lebih efektif me-leverage pemulihan ekonomi jika bisa dimanifestasikan dalam bentuk penyaluran kredit untuk menggerakkan sektor riil.

"Ini menjadi tugas bersama pemerintah selaku otoritas fiskal, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter, serta OJK yang bertanggung jawab terhadap kebijakan mikro prudensial dalam hubungannya dengan industri perbankan," jelasnya.

Baca Juga: Indonesia resesi, Indef: Tantangan pemulihan ekonomi tahun depan masih berat

Karenanya, berbagai pelonggaran diperlukan agar kegiatan penyaluran kredit bisa kembali seperti semula. Semakin besar penyaluran kredit, recovery ekonomi nasional juga akan semakin cepat. 

“Kita lihat pertumbuhan kredit bank selama pandemi ini masih di kisaran 1%. Hal ini berkorelasi terhadap perekonomian nasional yang pada triwulan III terkontraksi sekitar 3%. Jika kredit didorong, pertumbuhan ekonomi akan ikut terangkat," terangnya.

Selanjutnya: Sri Mulyani beberkan tantangan bagi Indonesia untuk jadi negara maju di 2045

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×