Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSP RTMM-SPSI) mengimbau pemerintah akan adanya dampak negatif terhadap industri rokok dan pendapatan negara dengan dinaikkannya tarif cukai di 2019 mendatang.
“Fakta PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) terjadi masih setiap tahun, salah satu faktornya karena kenaikan cukai. Kalau omset turun, pengusaha pasti PHK pekerjanya,” kata Ketua Umum FSP RTMM-SPI, Sudarto dalam siaran persnya, Senin (10/7).
Menurut Sudarto, pemerintah memang memiliki kepentingan meningkatkan penerimaan negara untuk memenuhi kebutuhan belanja setiap tahunnya. Namun besaran tarif cukai yang tinggi dalam 5-8 tahun terakhir ini menyebabkan penurunan jumlah buruh rokok.
“Kami aktif menyuarakan dari pejabat tingkat kabupaten atau kota, sampai berbagai instansi dan pejabat di tingkat pusat. Saya bahkan pernah menyampaikan langsung ke Presiden Joko Widodo,” ujar dia.
Sementara, Ketua Paguyuban Mitra Produk Sigaret Indonesia (MPSI), Djoko Wahyudi menambahkan naiknya tarif cukai rokok juga akan menggerus pendapatan negara. “Kalau tujuannya untuk menaikkan pendapatan dari pita cukai, saya pikir tidak tepat. Pendapatan industri pasti menurun dan mengurangi jumlah tenaga kerja (PHK). Pemerintah akan mengalami dua kerugian," ujar dia.
Sependapat, Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Andreas Eddy Susetyo, mengatakan pemerintah dapat menaikkan tarif cukai, namun jangan terlampau tinggi. "Kita tahu dalam 2 tahun ini industrinya menurun, karena itu jangan sampai kenaikan cukai berlebihan sehingga kontraproduktif," katanya.
Pemerintah, Andreas meneruskan, wajib mempertimbangkan tenaga kerja yang terlibat di industri rokok. "Karena di industri tembakau ini tenaga kerjanya sangat besar. Ada sekitar 5 juta orang yang terlibat dalam rantai industri tembakau," ujar politikus dari Fraksi PDI Perjuangan ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News