Reporter: Eka Saputra |
JAKARTA. Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Tubagus Haryono menilai Undang-undang No 22 tahun 2001 tentang migas sejatinya masih cukup memberi kepastian hukum pengelolaan migas. Namun ia menyatakan sama sekali tidak ada keberatan bila harus ada revisi soal undang-undang tersebut.
“Mungkin terutama soal penguatan, pemilahan fungsi dan tugas lembaga pengelola migas. Memang ada substansi dan situasi yang berbeda saat itu dengan sekarang. Ada semacam idealisme yang terabaikan, misalnya menghadapi imperialisme kapital sehingga peraturan yang ada dianggap memihak pemodal asing,” katanya.
Menanggapi hal ini, anggota Komisi VII DPR RI, Sutan Batoegana mengingatkan bahwa potensi ekonomi sumber daya alam Indonesia harus berdasar asa kebersamaan dan kekeluargaan. Dengan menjaga keseimbangan ekonomi nasional demi kemajuan ekonomi rakyat.
Menurutnya, seharusnya pengelolaan migas dipegang penuh oleh pemerintah dengan mengabaikan kepentingan asing. “Pemerintah mengurus izin, persoalan tender di Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu (BP) Migas, nah, BPH Migas, yang hilir itu mendistribusikan,” ujarnya.
Selain terlalu berpihak pada kepentingan pengelola asing, ia menilai saat ini, dalam UU tentang Migas ada ego sektoral. Seakan masing-masing pihak terkait ingin memiliki wewenang yang lebih tinggi, dan akhirnya malah tumpang tindih.
Untuk itulah revisi atas undang-undang ini jadi sesuatu yang mendesak. Selain agar pengelolaan kekayaan alam bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan rakyat, sumber pendapatan negara pun bisa bertambah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News