CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.466.000   -11.000   -0,74%
  • USD/IDR 15.954   -94,00   -0,59%
  • IDX 7.228   13,54   0,19%
  • KOMPAS100 1.105   2,36   0,21%
  • LQ45 877   1,75   0,20%
  • ISSI 219   0,82   0,38%
  • IDX30 449   0,77   0,17%
  • IDXHIDIV20 541   1,37   0,25%
  • IDX80 127   0,24   0,19%
  • IDXV30 136   0,71   0,52%
  • IDXQ30 150   0,31   0,21%

DPR nilai izin membakar hutan rawan penyimpangan


Kamis, 22 Juni 2017 / 19:07 WIB
DPR nilai izin membakar hutan rawan penyimpangan


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Dupla Kartini

JAKARTA. Kebiasaan masyarakat saat membuka lahan dengan membakar dan dilegalkan pemerintah lewat Undang-Undang (UU) No.32 tahun 2009 dinilai sudah tidak lagi relevan. Pasalnya, izin membakar lahan seluas 2 hektare (ha) bagi masyarakat tersebut dinilai rawan penyimpangan, sehingga perlu dicabut.

Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo mengatakan, membakar hutan secara terbatas merupakan salah satu kearifan lokal yang dijamin UU. Namun kebiasaan ini bisa dipertahankan dengan mengubah mekanismenya dari kebiasaan membakar. Salah satunya dengan menggunakan mekanisasi saat membuka hutan seperti menggunakan traktor dan sejenisnya.

"Pemerintah perlu membantu masyarakat untuk mengubah perilaku tersebut. Pembukaan lahan menggunakan mekanisasi jauh lebih manusiawi dan tidak menimbulkan banyak masalah dikemudian hari," ujar Firman, Kamis (22/6).

Firman menjelaskan, cara-cara membuka lahan dengan membakar sebaiknya tidak ditolerir karena rawan penyimpangan. Dia mencontohkan, kebakaran hutan besar pada tahun 2015 yang dipakai sebagai acuan untuk membuat sejumlah regulasi yang bertendensi memojokan industri, didesain oleh kelompok tertentu dengan memanfaatkan celah dari kearifan lokal tersebut.

Lanjut Firman, motivasi mendesain kebakaran hutan dan lahan pada 2015 terkait dengan masalah politik perdagangan. Dari sekian banyak komoditas minyak nabati, hanya sawit yang mampu tumbuh dengan baik dan mampu mengalahkan pesaing minyak nabati lain. Karena itu, asing melalui berbagai perjanjian internasional, seperti konferensi perubahan iklim di Paris serta Perjanjian Norwegia, berusaha mematikan potensi nasional Indonesia.

Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Sri Adiningsih menambahkan, peran sektor perkebunan sawit sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Dia juga mengungkapkan, industri sawit harus terus ditingkatkan karena menghasilkan devisa besar serta lebih dari 5 juta kepala keluarga petani bergantung di industri ini. “Ini potensi yang harus kita kembangkan agar Indonesia menjadi salah satu eksportir terbesar di dunia,” ujarnya.

Sementara itu, Benny Pasaribu, Ketua Pokja Pangan, industri Pertanian dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri (KEIN) mengatakan, isu negatif dalam persaingan global merupakan hal yang biasa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×