Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Permintaan domestik yang lemah membuat tren perlambatan pertumbuhan kredit berlanjut. Itu sebabnya, Bank Indonesia (BI) membuka peluang pelonggaran kebijakan melalui pelonggaran giro wajib minimum (GWM) untuk mendorong penyaluran kredit perbankan.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung memperkirakan, posisi kredit yang disalurkan oleh perbankan per akhir Agustus 2016 6,9% year on year (yoy). Perkiraan posisi pertumbuhan kredit tersebut lebih rendah dari bulan sebelumnya yang masih tumbuh di atas 7%, yaitu 7,7%.
Gubernur BI, Agus Martowardojo mengatakan, rendahnya pertumbuhan kredit saat ini terjadi lantaran melemahnya permintaan domestik sebagai dampak dari pelemahan ekonomi global. Di sisi lain, posisi kredit macet atau non performing loan (NPL) yang saat ini masih tergolong tinggi, yaitu melebihi level 3%, membuat perbankan lebih berhati-hati dalam menyalurkan kreditnya.
Pihaknya memperkirakan, pertumbuhan kredit tahun ini hanya bisa mencapai single digit, yaitu sekitar 7%-9%. Agus juga memperkirakan, pertumbuhan kredit tahun depan sebesar 11% karena asumsi pertumbuhan ekonomi tahun depan yang disepakati pemerintah dengan Komisi XI DPR sebesar 5,1%. Proyeksi tersebut lebih rendah dibanding proyeksi sebelumnya sebesar 12% karena mengasumsikan pertumbuhan ekonomi tahun depan sebesar 5,2%.
"BI bisa lakukan easing tentu bisa melalui penyesuaian BI 7-day reverse repo rate atau GWM ataupun melalui kebijakan makroprudensial yang lain," kata Agus akhir pekan lalu.
Secara umum BI melihat kondisi domestik semakin stabil, Hal tersebut tampak dari nilai tukar rupiah terhadap dollar AS selama pekan lalu menguat 1,4% dibanding pekan sebelumnya ke level Rp 13.060-Rp 13.070 per dollar AS. Penguatan tersebut didukung oleh aliran modal asing yang masuk mencapai Rp 153 triliun, tiga kali lipat dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya yang hanya Rp 41 triliun.
Meski demikian, BI masih akan melihat kembali data-data terkini untuk melakukan pelonggaran kebijakan ini. "Jadi kalau seandainya nanti data mendukung itu di September, Oktober, atau November, itu kami bisa melalukan easing," tambah Agus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News