kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dollar naik, tak banyak eksportir yang untung


Jumat, 06 Desember 2013 / 11:38 WIB
Dollar naik, tak banyak eksportir yang untung
ILUSTRASI. Empty Sella Syndrome.


Reporter: Sandy Baskoro | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

CIREBON. Jika ingin fundamental ekonomi Indonesia kokoh dan tak mudah terombang-ambing, pemerintah perlu memperkuat ekspor berbasis nilai tambah.

Selama ini, sebesar 75% ekspor Indonesia disumbangkan oleh komoditas barang mentah, seperti batubara, minyak sawit mentah, nikel dan timah.

Jadi, penguatan dollar Amerika Serikat terhadap rupiah juga tidak berpengaruh signifikan terhadap pendapatan ekspor. "Sebab, harga komoditas dunia menurun," ungkap Aviliani, Sekretaris Komite Ekonomi Nasional, Kamis (5/12).

Namun, apabila eksportir kita terlebih dulu mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi, maka hal itu akan lebih menguntungkan. Aviliani mencontohkan India, dimana ekspornya merupakan barang bernilai tambah. Alhasil, ketika dollar AS menguat terhadap rupee, pendapatan ekspor India cukup tinggi dan menguntungkan.

Aviliani juga menilai kebijakan kewajiban membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) komoditas kurang maksimal. Menurut dia, tidak mudah mengembangkan industri bernilai tambah. Pemerintah perlu cermat dalam menghitung skala keekonomian industri smelter, misalnya mempertimbangkan soal lokasi smelter.

Terkait produk ekspor barang setengah jadi, Indonesia baru menerapkannya pada industri kimia, seperti produk PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. Adapula produk tekstil, yakni ekspor pakaian tentara ke Amerika Serikat dan Eropa, seperti dijalani PT Sri Rejeki Tekstil (Sitex). "Namun kontribusinya terhadap total ekspor masih minim sekali," tutur Aviliani.

Oleh karena itu, selain menggenjot produk ekspor bernilai tambah, pemerintah mesti fokus menentukan industri ekspor unggulan. Hal ini seperti dilakukan oleh Korea Selatan dan Jepang. Di Jepang, industri otomotif mereka sudah mendunia. Adapun Korea Selatan tengah menggenjot industri kosmetika.

Aviliani menilai, Indonesia bisa fokus pada industri olahan CPO dan karet. Indonesia adalah produsen CPO terbesar di dunia, tapi industri olahannya tidak maksimal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×