Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) meyakini, Bank Sentral Amerika Serikat (AS) akan menaikkan suku bunga pada Maret ini sebesar 25 basis point (bps). Kepastian kenaikan itu akan dilakukan saat para pejabat The Fed akan melakukan pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pekan depan.
Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, kenaikan suku bunga The Fed yang biasanya diikuti dengan penguatan dollar AS tidak akan berdampak signifikan. "Mata uang negara lain termasuk Indonesia akan sedikit melemah," katanya saat ditemui di Kantor Kementerian Keuangan, Jumat (10/3).
Menurut Agus, kondisi ekonomi Indonesia masih kuat. Hal ini tercermin dari kondisi pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan neraca perdagangan yang lebih baik. Begitu juga posisi cadangan devisa yang akhir bulan lalu masih meningkat jadi US$ 119,9 miliar.
Menurut Agus, kondisi ekonomi Indonesia juga direspons positif oleh investor melalui arus modal asing yang masuk (capital inflow). Ini akan menjadi bantalan kenaikan suku bunga The Fed nanti. Hingga pekan kedua Maret ini, capital inflow mencapai Rp 31 triliun. Angka itu naik dibanding akhir Februari yang sebesar Rp 26 triliun.
Capital inflow itu juga tercermin pada nilai tukar rupiah selama Maret ini yang cenderung stabil.
BI siap intervensi
Deputi Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Riza Tyas mengatakan, saat ini, pasar masih tenang mendekati pertemuan FOMC. Artinya, pasar telah memperhitungkan kenaikan suku bunga acuan AS.
Yang jelas lanjut dia, BI tetap berada di pasar untuk menjaga nilai tukar rupiah agar sesuai fundamentalnya. "BI selalu berada di pasar tetapi terukur," kata Risa. Sebelumnya, BI menyebut, asumsi nilai tukar rupiah tahun ini berada di rentang Rp 13.300-13.600 per dolar AS.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan memperkirakan, kenaikan suku bunga The Fed di tahun ini akan terjadi dua kali atau maksimal tiga kali. Perkiraan tersebut, sejalan dengan pergantian anggota The Fed yang cenderung dovish atau lebih memilih mempertahankan kebijakan moneter saat ini.
Anton bilang, jika nantinya suku bunga AS naik, hal itu akan berdampak pada penguatan dollar AS. Namun, Presiden AS Donald Trump juga akan menahan penguatan itu.
Anton juga mengatakan bahwa meski The Fed naik, imbal hasil (yield) yang ditawarkan pemerintah yang sekitar 7%-8% masih menarik, sebab lebih tinggi dibanding US Treasury yang hanya sebesar 2%. Dengan demikian, investor masih akan tertarik berinvestasi di Indonesia.
Anton memperkirakan, nilai tukar rupiah bisa ditahan di level Rp 13.400 per dollar AS. "Kecuali kalau The Fed naik sampai 2% (empat kali kenaikan) dan US Treasury ke 3%. Kondisi itu bisa menekan rupiah hingga ke Rp 13.800 per dolar AS," katanya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, level rupiah yang masih bisa diterima pengusaha di kisaran Rp 13.000-Rp 13.500 per dollar AS. Oleh karena itu, pengusaha berharap kenaikan suku bunga acuan AS tak berdampak pada pelemahan rupiah yang melebihi level Rp 14.000 per dollar AS. "Kalau lebih dari itu bisa menimbulkan persepsi macam-macam," katanya kepada KONTAN, Jumat (10/3).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News