Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemkeu) tengah memperbaiki peraturan perpajakan controlled foreign companies (CFC) untuk menangani penghindaran pajak antar negara dan meningkatkan basis pajak.
Aturan ini mencegah praktik manipulasi dengan tax planning yang matang atau sengaja melakukan transfer laba (profit shifting) yang diperoleh perusahaan ke negara dengan tarif pajak rendah.
Selama ini, banyak sekali WP di Indonesia yang menghindar pajak dengan skema ini. Seperti terkonfirmasi dari hasil pemeriksaan dan data misal Panama Papers.
Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak Poltak Maruli John Liberty Hutagaol mengatakan, sementara ini aturan terkait CFC masih dibicarakan pada level revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) saja. Padahal, problem aturan terkait ini sesungguhnya bukan hanya ada pada PMK melainkan UU PPh.
“Ya, itu nanti, dalam waktu dekat ini PMK dulu, tetapi soal CFC nanti masuk juga dalam perubahan UU,” katanya kepada KONTAN, Selasa (4/4).
Lebih lanjut menurut John, pembahasan dari revisi PMK tersebut masih bergulir. Asal tahu saja, perbaikan peraturan perpajakan soal CFC ini masuk dalam salah satu dari 11 target Tim Reformasi Perpajakan pada bidang Regulasi yang harus diselesaikan pada tahun ini.
Adapun ia mengatakan, perubahan dalam tataran PMK untuk CFC ini sementara ini sudah cukup bisa mengakomodasi aturan CFC yang ideal, “Bisa-bisa saja. Kami kan sudah kerja di pajak puluhan tahun. Bisa,” ucapnya.
Saat ini, ketentuan CFC telah diatur dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) serta aturan turunannya, PMK Nomor 256/PMK.03/2008 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER) Nomor 59/PJ/2010.
Dalam kedua aturan itu dijelaskan bahwa Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek. Ketentuannya, besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.
Peneliti pajak DDTC Bawono Kristiaji mengatakan, rencana revisi ketentuan CFC tentu perlu dilihat dalam konteks indikasi pengalihan laba dari entitas perusahaan di Indonesia ke perusahaan luar negeri yang sepenuhnya dikendalikan oleh perusahaan Indonesia tersebut.
Menurut dia, desain ketentuan CFC yang efektif untuk mencegah skema tersebut sudah tertuang dalam Rencana Aksi 3 Proyek Anti-BEPS yang diinisasi oleh OECD/G20. Dari Aksi 3 tersebut, ada enam hal yang perlu diperhatikan menurut Bawono.
Pertama, kriteria CFC dan kontrol yang perlu diperluas, “Apakah kontrol harus semata-mata dari penguasaan langsung secara legal (penyertaan modal) > 50% atau bisa diperluas hingga kontrol tidak langsung atau juga defacto control,” ujarnya.
Kedua, ambang batas (threshold) ketentuan CFC. Selama ini menurut Bawono belum jelas apakah hanya berlaku bagi perusahaan Indonesia yang memiliki CFC di negara-negara dengan tarif pajak efektif lebih rendah dari Indonesia atau untuk seluruh negara.
Ketiga, definisi penghasilan CFC. Selama ini belum jelas apakah hanya berlaku untuk penghasilan dividen atau bisa diperluas untuk penghasilan yang rentan dialihkan atau ditahan di negara lain untuk skema penghindaran pajak.
Keempat, cara menghitung penghasilan CFC tersebut. Selama ini belum jelas apakah akan mengikuti ketentuan pajak Indonesia atau negara lokasi CFC.
Kelima, cara mengatribusikan penghasilan CFC. Selama ini belum jelas apakah hanya mengacu secara proporsional terhadap konstribusi penyertaan modal atau diperlukan cara lain. “Keenam, klausul untuk mencegah terjadinya pajak berganda,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News