Reporter: Benedictus Bina Naratama | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. PT Djarum digugat oleh mantan mitra usahanya atas nama Adhi Soebekti dan Lie Reza H Aliwarga dalam perkara gugatan merek AutoBlackThrough.
Penggugat menuntut pembatalan merek AutoBlackThrough yang telah didaftarkan oleh Djarum ke Direktorat Merek KemenkumHAM pada tahun 2012 silam. Kuasa hukum penggugat, Wilsye Damanik menuturkan kliennya telah mendaftakan merek Auto Black Through di Direktorat Merek sejak tahun 2009.
Penggugat merupakan pencipta dari konsep Auto Black Through untuk sebuah pameran modifikasi mobil yang sponsor utamanya adalah Djarum. Sebagai tergugat I, Djarum dan penggugat pernah menjalin kerjasama bisnis untuk menyelenggarakan pameran modifikasi mobil dengan konsep Auto Black Through sejak tahun 2004 hingga 2011. Penggugat bertindak selaku pelaksana pameran tersebut.
“Klien kami adalah pelaksana pameran modifikasi mobil berkonsep Auto Black Through yang bekerjasama dengan Djarum. Pertama kali kerjasama pada tahun 2004. Jadi klien kami menawarkan konsep Auto Black Through, yaitu pameran mobil dengan konsep night club dan semua serba hitam, kepada Djarum. Mereka sebagai sponsor utamanya,” jelas Wilsye seusai persidangan, Jumat (13/2).
Konsep Auto Black Through untuk pameran modifikasi mobil ini, lanjutnya, dibawa oleh kliennya dari Australia. Wilsye mengungkapkan jika penggugat pernah mengikuti pameran dengan konsep serupa di Australia dan kemudian menyelenggarakannya di Indonesia.
Pengugat mengklaim bahwa dirinya merupakan orang pertama di Indonesia yang mengadaptasi konsep Auto Black Through untuk pameran modifikasi mobil di Indonesia. Oleh karena itu, pihaknya menuntut pembatalan merek ketika Djarum mendaftarkan merek AutoBlackThrough di Direktorat Merek KemenkumHAM melalui gugatan merek ini.
“Mereka mendaftarkan merek AutoBlackThrough pada tahun 2012. Merek yang mereka daftarkan memiliki persamaan ada pokoknya dengan milik kami. Penulisan merek Auto Black Through yang didaftarkan oleh mereka disambung semua (AutoBlackThrough), sedangkan milik kami dipisah (Auto Black Through),” ujar Wilsye.
Perkara merek AutoBlackThrough ini bermula ketika penggugat dan tergugat I menjalin kerjasama penyelenggaraan pameran modifikasi mobil dengan konsep Auto Black Through yang ditawarkan oleh penggugat. Tergugat I bertindak sebagai sponsor utama dan penggugat sebagai pelaksana. Kerjasama ini hanya berlangsung dari tahun 2004 hingga 2011 karena pada tahun 2012, Djarum tidak jadi menyelenggarakan pameran tanpa ada pemberitahuan secara resmi. Padahal penggugat sendiri telah menyiapkan venue dan segala persiapan lainnya.
Wilsye menjelaskan kerjasama antara penggugat dengan tergugat I sudah memiliki kontrak yang berlangsung tiap tahun dan mereka selalu berkomunikasi via email perihal persiapan penggugat menyiapkan pameran. Namun kali ini, ujarnya, tergugat I sama sekali tidak koordinasi via email maupun pemberitahuan lainnya.
Setelah pada tahun 2012 tidak digelar pemeran modifikasi mobil dengan menggunakan jasa penggugat sebagai pelaksana, tiba-tiba pada tahun 2013 tergugat I melangsungkan kembali pameran tersebut dengan nama Djarum Autobreakthrough. “Padahal dari kami pameran Auto Black Through dengan sponsor Djarum, tapi kali ini menggunakan nama Djarum Autoblackthrough. Sehingga seolah-olah merekalah yang melaksanakan dan memiliki konsep pamerannya,” ujar Wilsye.
Selain mendaftarkan merek yang memiliki persamaan pada pokoknya, tergugat I juga diyakini telah mengambil beberapa karyawan penggugat untuk bekerja di perusahaan tergugat I. Hal ini ditegaskan oleh Wilsye sehingga penggugat merasa kecewa dan mengajukan gugatan merek terhadap tergugat I ini untuk mencari kepastian hukum.
Sejak tahun 2012, penggugat telah mengirimkan surat kepada tergugat I untuk mempertanyakan penggunaan merek AutoBlackThrough namun tidak mendapatkan respons sama sekali. Selain menggugat PT Djarum sebagai tergugat I, penggugat juga Direktorat Merek KemenkumHAM sebagai tergugat II. Selain itu, ungkap Wilsye gugatan merek ini merupakan kedua kalinya yang diajukan penggugat.
Sebelumnya, gugatan serupa pada tahun 2013 diputuskan tidak dapat diterima oleh majelis hakim PN Jakpus dengan alasan tidak melampirkan bukti biaya pendaftaran merek di Direktorat Merek.
Kuasa hukum tergugat I, Musa Sinambela menolak untuk memberi keterangan ketika dikonfirmasi mengenai adanya gugatan merek ini kepada kliennya. Ia berdalih sidang yang baru memasuki tahap pengajuan surat kuasa dari masing-masing pihak sehingga belum dapat memberi komentar.
“Kami belum dapat memberi komentar, ini kan sidangnya baru mengajukan surat kuasa dari masing-masing pihak dan kami juga belum menyiapkan jawaban terhadap gugatan mereka. Jadi nanti diikuti saja jalannya persidangan,” jelas Musa kepada KONTAN.
Perkara dengan nomor 2/HKI/Merek/2015/PN.JKT.PST ini telah didaftarkan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat oleh penggugat sejak 20 Januari 2015. Saat ini jalannya persidangan telah memasuki tahap jawaban dari para tergugat yang akan diselanggarakan pada Rabu, 18 Februari 2015.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News