Reporter: Arsy Ani Sucianingsih | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah akan memperketat aturan penghindaran pajak dengan skema transfer pricing yang saat ini masih banyak dilakukan perusahaan multinasional. Untuk itu Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mengaku akan menggandeng pakar dan kantor pajak dari Jepang agar pencegahan transfer pricing antara kedua negara berjalan lebih efektif.
Kerjasama ini mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 7 Tahun 2015 yang berisi tata cara pencegahan transfer pricing. Salah satu upayanya dengan memperketat penentuan harga transfer atau Advance Pricing Agreement (APA) oleh perusahaan yang memiliki hubungan tertentu dengan korporasi lain di luar negeri.
Aturan tersebut menjelaskan, untuk mendapatkan penentuan harga transfer, wajib pajak atau perusahaan bisa mengajukan ke Ditjen Pajak secara langsung ataupun melalui otoritas pajak negara asal. Namun, meski aturan ini sudah efektif berlaku sejak tahun 2015, peminatnya masih sedikit.
Itulah sebabnya pencegahan transfer pricing belum efektif. "Para pengusaha belum percaya diri untuk mengajukan APA karena masih wait and see, apakah Ditjen Pajak dapat mengelola APA dengan standar internasional atau tidak," jelas Tenaga Pengkaji Bidang Pengawasan dan Penegakan Hukum Perpajakan Ditjen Pajak, Edward Hamonangan Sianipar, dalam bincang-bincang dengan wartawan pekan lalu.
Kini, Ditjen Pajak mengembangkan APA dengan menggandeng otoritas pajak Jepang serta para ahli perpajakan dari Negeri Sakura itu. Jepang sengaja dipilih karena negara itu adalah investor terbesar di Indonesia. "Sehingga sebelum ada sengketa (pajak) kita sudah ada pembicaraan dulu, tambah Edward.
Agar pencegahan penghindaran pajak dengan skema transfer pricing sukses, Ditjen Pajak juga ingin menyempurnakan PMK 7/2015. Ini terutama terkait pengaturan APA yang terlalu rumit dan tidak ada jaminan persetujuan dari Ditjen Pajak. Sayang Edward belum menjelaskan rencana revisi PMK itu.
Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak Poltak Maruli John Liberty Hutagaol menambahkan, pencegahan transfer pricing bukan sekadar masalah teknis terkait perpajakan. "Ada masalah non teknis, seperti budaya perusahaan itu, bagaimana profil perusahaannya, proses bisnisnya, yang harus kami pahami untuk menyelesaikan masalah transfer pricing," terang John, panggilan akrabnya.
Kurang kepercayaan
Perwakilan Japan International Cooperation Agency (JICA) Kosugi menyatakan, pencegahan transfer pricing butuh jaminan keberlangsungan APA. Proses APA merupakan kesepakatan antara kedua belah negara yang meliputi harga transaksi baik dari perusahaan terafiliasi atau anak usaha sendiri. "Jadi harga transaksi diantara keduanya harus ditentukan sebelumnya. Termasuk perhitungan dan metodenya," katanya.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, PMK 7/2015 sebenarnya sudah cukup untuk mencegah transfer pricing. Namun, pengajuan APA belum diminati lantaran tidak adanya trust terhadap Ditjen Pajak. "Problem utamanya soal trust. Agak aneh mengeluarkan kebijakan yang basisnya trust, tapi tidak ada trustfullness sehingga wajib pajak pun enggan mengajukan, karena berasumsi pasti ditolak, kata Yustinus.
Yustinus menambahkan, seharusnya tidak ada alasan bagi Ditjen Pajak untuk mempersulit APA. Apalagi kebijakan yang menyangkut dua negara ini merupakan salah satu fasilitas untuk membuat wajib pajak patuh. Bahkan sudah sewajarnya diberikan kemudahan dan kepastian.
Oleh karena itu dia berharap prosedur dan syarat a dipangkas dan ada kepastian soal keputusannya. "Jangan sampai esensinya justru hilang karena Ditjen Pajak setengah hati," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News