Reporter: Agus Triyono | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak mempersilakan para tersandera pajak untuk melakukan perlawanan hukum terhadap penyanderaan badan atau gijzeling yang mereka lakukan. Sikap ini mereka pertegas terkait gugatan uji materi UU No. 9 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yang diajukan oleh Frederick Rahmat.
Sebagai informasi saja, Frederick Rahmat merupakan Komisaris PT Dharma Budi Lestari. Pengusaha ini disandera Ditjen Pajak karena perusahaannya dinilai telah menunggak pajak Rp 27 miliar.
Dia alhasil, menggugat Pasal 34 ayat 3 UU No. 9 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa ke Mahkamah Konstitusi yang mengatur ketentuan tersandera pajak dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penyaderaan hanya kepada pengadilan negeri.
Dhananjaya Wotulo, Kuasa Frederick kepada KONTAN, Selasa (8/3) mengatakan, mekanisme perlawanan yang bisa dilakukan oleh wajib pajak yang tersandera dalam pasal tersebut cukup merepotkan dan tidak memberikan jaminan kepastian hukum kepada kliennya.
Pasalnya, dengan gugatan perdata di pengadilan negeri, memerlukan proses yang panjang. "Karena ada proses banding, kasasi, sedang masa sandera hanya enam bulan, bisa ditambah enam bulan lagi," katanya.
Atas permasalahan itulah, Dhananjaya mengatakan, kliennya berharap MK bisa mengabulkan permohonan kliennya, sehingga kliennya bisa melawan upaya penyanderaan yang dilakukan Ditjen pajak dengan melakukan praperadilan, bukan gugatan perdata ke pengadilan negeri.
"Sebab kalau praperadilan putusan final, tidak ada banding, sehingga cepat," katanya.
Mekar Satria Utama, Direktur P2 Humas Ditjen Pajak mengatakan, langkah tersebut merupakan upaya wajar yang harus disikapi dan dihadapi dengan positif. "Ditjen Pajak sangat menghargai cara-cara seperti itu yang menjadikan pengadilan sebagai tempat mencari keadilan," katanya kepada KONTAN Rabu (9/3) malam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News