Reporter: Petrus Dabu |
JAKARTA. Lumbung desa yang pernah populer di era orde baru saat ini perlu direvitalisasi. Tujuan upaya itu adalah untuk menjaga stok atau cadangan beras nasional. Sebab, konsep lumbung desa yang sudah ditinggalkan bangsa Indonesia ini terbukti sukses di Thailand. Negeri itu berhasil menjaga cadangan pangan nasional, sekaligus menjadi negara eksportir beras terbesar dunia.
Duta Besar Indonesia untuk Thailand Mohammad Hatta mengatakan di negeri gajah putih itu terdapat 3.355 lumbung desa milik pemerintah yang tersebar di seluruh desa.
Dia bilang, Pemerintah Thailand mewajibkan tiap petani menyimpan 20% dari total produksi gabah ke lumbung negara (warehouse). "Hal ini bisa kita contoh,” ujar Hatta kepada wartawan di sela-sela diskusi management stock pangan beras di Jakarta, Senin (16/5).
Thailand kata dia memang sudah memiliki manajemen yang rapi dalam mengelola distribusi hasil produksi gabah. Selain, disimpan sebagai cadangan negara, petani juga mengalokasikan 5% dari total produksi gabah untuk disimpan di koperasi petani. Sedangkan,45% dialokasikan untuk dijual ke makelar atau pedagang, dan 30% sisanya langsung dimasukkan ke penggilingan untuk diolah menjadi beras.
Selanjutnya, dari keseluruhan produksi beras Thailand per tahun, pemerintah menetapkan kuota 45% digunakan untuk diekspor ke pasar internasional sedangkan 55% untuk kebutuhan pasar domestik.
Thailand memiliki luas lahan pertanian 9-11 juta hektare. Lahan ini tidak pernah dikonversi untuk kepentingan non pertanian. Lahan tersebut mampu menghasilkan gabah per tahun sekitar 30-31 juta ton. Setiap tahun, negeri gajah putih itu berhasil mengekspor 7-9 juta ton beras ke berbagai negara. Sedangkan untuk konsumsi dalam negeri, dengan jumlah penduduk sekitar 70 juta jiwa, setiap tahun sekitar 6,6-8 juta ton.
Kebijakan nasional Thailand terkait padi, beras dan petani saat ini dituangkan dalam Thai Rice Master Strategis 2007-2011. Kebijakan ini disusun Kementerian Pertanian dan Koperasi Thailand bersama Kementerian Perdagangannya. Model kebijakan lima tahunan ini mulai diterapkan sejak tahun 1946.
Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian, Zaenal Bachruddin mengakui manajemen stok atau cadangan pangan beras di Indonesia masih jauh dari apa yang dilakukan di Thailand.
Dia mengakui selain data mengenai cadangan beras yang ada di Perum Bulog, pemerintah sebetulnya tidak punya data yang akurat mengenai jumlah stok gabah atau beras yang berada di masyarakat."BPS mengatakan ada surplus, tapi kok harga naik, di mana letak persoalannya, apakah di distribusinya, atau karena ada penumpukan di masyarakat yang pemerintah tidak tahu,” ujarnya.
Karena itu, kata dia dalam rangka mewujudkan surplus beras 10 juta ton pada 2014, di bagian hilir upaya yang dilakukan pemerintah, di antaranya membuat suatu software atau sistem manajemen stok pangan nasional. Sistem itu, kata dia diupayakan dapat menjamin ketersediaan data produksi dan distribusi pangan beras di masyarakat secara akurat. Hal itu juga bisa menjamin adanya suatu mekanisme di mana pemerintah, baik pusat maupun daerah, bisa menguasai stok pangan nasional.
"Konsepnya masih kita susun, apakah daerah nanti memiliki gudang-gudang yang teregistrasi," ujarnya. Soal lumbung desa kata dia, memang sudah ada program lumbung desa, tetapi sejauh ini belum dibuat suatu evaluasi terhadap efektivitasnya."Tetapi semua masukan kita tampung, untuk membenahi manajemen stok beras kita,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News