kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Didenda Rp 1,07 triliun, anak usaha Sampoerna Agro kaji upaya hukum


Kamis, 17 Januari 2019 / 17:45 WIB
Didenda Rp 1,07 triliun, anak usaha Sampoerna Agro kaji upaya hukum


Reporter: Ratih Waseso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Anak usaha Sampoerna Agro, PT National Sago Prima (NSP) belum dapat membeberkan upaya hukum lanjutan atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan kasasi terhadap perkara pembakaran hutan di Meranti, Riau. Dalam putusan MA, PT NSP didenda sebanyak Rp 1,07 trilun.

Kuasa hukum NSP Harjon Sinaga menuturkan, bahwa pihaknya belum menerima relaas pemberitahuan putusan. Oleh karena itu, Harjon masih akan membicarakan dengan kliennya mengenai upaya hukum selanjutnya.

Ia mengatakan, keputusan akan diambil setelah menerima pemberitahuan putusan kasasi. "Kami akan berkonsultasi dengan klien kami untuk mempertimbangkan upaya hukum selanjutnya yang akan ditempuh, termasuk kemungkinan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK)," jelas Harjon Sinaga saat dihubungi Kontan.co.id pada Kamis (17/1).

Menurut Harjon, kliennya menghormati putusan pengadilan, meski pihaknya juga tetap menyayangkan atas putusan yang dijatuhkan kepada kliennya. "Kami menyayangkan putusan yang diambil, yang menurut kami tidak mempertimbangkan alat-alat bukti serta pendapat ilmiah dari para ahli yang kami ajukan di persidangan yang semuanya mematahkan tuduhan dari penggugat," tambah Harjon.

Putusan dinilai Harjon hanya berdasarkan pada bukti-bukti dan asumsi yang lemah yang diajukan oleh penggugat, dan salah menerapkan hukum. Hal tersebut terbukti dengan adanya putusan Pengadilan Tinggi yang menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya, dan adanya Dissenting Opinion.

"Dimana salah satu hakim yang berkompeten dalam permasalahan lingkungan hidup menyatakan ketidaksetujuannya terhadap putusan Majelis Hakim ketika perkara tersebut diputus dalam tingkat Pengadilan Negeri," jelasnya.

Sengketa ini bermulai pada 2015, ketika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengajukan gugatan terhadap kebakaran hutan dan lahan di konsesi kepada PT NSP.

Gugatan itu awalnya diajukan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan atas terjadinya kebakaran yang terjadi di konsesi perusahaan seluas 3.000 hektar di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

PN pun saat itu memenangkan pemerintah dan menghukum PT NSP untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 319,17 miliar dari tuntutan sebesar Rp 319,17 miliar dan melakukan tindakan pemulihan sebesar Rp 753 miliar dari tuntutan Rp 753,75 miliar. Total NSP harus membayar Rp 1,07 triliun.

Selain itu, NSP juga harus membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 50.000 setiap hari atas keterlambatan pelaksanaan putusan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×