Sumber: Kompas TV,Kompas.com | Editor: Syamsul Azhar
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Memasuki tahun politik 2023 pengurus dan aktivis partai politik (parpol) mulai melakukan manuver untuk menunjukkan dukungan kepada siapa mereka akan menjagokan calon presiden pada Pemilihan Presiden 2024 mendatang.
Partai politik mulai mengusung calon mereka masing-masing dari kader partai politiknya sendiri. Pertama Partai Gerindra sudah secara tegas akan kembali mengusung Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto sebagai calon presiden. Saat ini di pemerintahan Prabowo menjabat sebagai Menteri Pertahanan kabinet Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin.
Baca Juga: Budi Djiwandono Ditunjuk Sebagai Jubir Pemenangan Pemilu 2024 Partai Gerindra
Meskipun partai Gerindra juga memiliki kader partai yang cukup signifikan mendapat dukungan masyarakat seperti tergambar dari beberapa lembaga survei seperti Sandiaga Salahuddin Uno yang kini menjabat sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf).
Gerindra merupakan partai politik peraih suara terbesar kedua setelah PDI Perjuangan pada pemilu legislatif 2019. Persentase suara Gerindra mencapai 12,51%, setelah dikonversi dengan batasan batas suara minimum di parlemen sebesar 5% maka perolehan suara sekitar 13,74%.
Dengan undang-undang pemilu yang berlaku sekarang, artinya Gerindra cukup butuh satu pasangan parpol dengan suara di atas 7%,
Kedua, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang secara tegas mengusung Ketua Umumnya Muhaimin Iskandar untuk menjadi Calon Presiden 2024, meskipun tidak masalah juga kalau harus turun target menjadi wakil presiden.
Baca Juga: PDI-P Siapkan Puan Maharani Jadi Capres Pemilu 2024, Ini Profil dan Jejak Karirnya
PKB merupakan partai politik dengan perolehan suara murni dalam pemilu 2019 sebanyak 9,72% atau sebesar 10,67% setelah menggunakan batasan threshold 5% di parlemen.
Partai Golkar juga demikian, dengan modal perolehan suara sebagai terbesar ketiga dalam pemilu 2019 yakni 12,15% atau 13,34% setelah memperhitungkan threshold, Partai Golkar juga memutuskan Ketua Umumnya Airlangga Hartarto sebagai calon Presiden, meskipun seperti halnya Muhaimin Iskandar calon PKB, elektabilitas masih sangat rendah, di bawah 5%.
Fenomena yang menarik saat ini adalah yang terjadi pada partai pemenang Pemilu 2019 yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
PDIP terlanjur memberikan mandat penuh pemilihan calon Presiden dan Calon Wakil Presiden pada pemilu 2024 mendatang kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Namun, hingga saat ini Megawati tak kunjung memberikan signal siapa petugas partai yang akan ditunjuk untuk berkompetisi di pemilihan Presiden 2024 mendatang.
Baca Juga: Masuk dalam Daftar Bursa Capres 2024, Anies: Saya Tinggal Sebulan Lagi, Sabar Dong
Buntutnya kader PDIP justru saling menggalang dukungan terhadap para calon yang mereka inginkan masing-masing, meskipun tidak selalu transparan.
Kabar terakhir tim yang menginginkan Ketua DPR RI Puan Maharani maju sebagai calon presiden, telah mendeklarasikan diri membentuk Dewan Kolonel.
Sementara sebagian kader yang menginginkan agar Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menunjuk Ganjar Pranowo sebagai petugas partai yang dicalonkan sebagai Calon Presiden 2022 menandinginya dengan Dewan Kopral.
Lantas, apa itu Dewan Kolonel dan Dewan Kopral?
Mengutip pemberitaan Kompas.com, Selasa (20/9/2022), pembentukan Dewan Kolonel diinisiasi oleh beberapa anggota DPR Fraksi PDIP.
Adapun tugas Dewan Kolonel untuk meningkatkan citra Ketua DPR sekaligus Ketua DPP PDI-P Puan Maharani hingga ke daerah pemilihan (dapil) masing-masing anggota.
Selain itu Dewan Kolonel memiliki tujuan untuk mengusung Ketua DPP PDI-P Puan Maharani sebagai calon presiden.
Anggota Fraksi PDI-P Trimedya Panjaitan menyebut semua usulan Dewan Kolonel ini dimulai dari Komisi I sampai XI.
"Apa yang bisa kita lakukan, setiap komisi kita lakukan, di dapil juga," katanya.
Ia mengutip istilah politisi PDIP Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul Dewan Kolonel sebagai upaya 'mewangikan' Puan Maharani di daerah pemilihan (dapil) masing-masing
Menurut Trimedya, Anggota DPR dari Fraksi PDIP yang mengusulkan pembentukan Dewan Kolonel adalah Johan Budi yang tak lain mantan juru bicara kepresidenan dan juru bicara Komisi Pemberantaan Korupsi.
Dewan Kolonel dibuat untuk menunjukkan bahwa anggota DPR dari fraksi PDIP loyal kepada Puan Maharani. Adapun yang ditunjuk sebagai koordinator Dewan Kolonel adalah Trimedya.
Menurut Kompas.com, Jumat (23/9/2022), Dewan Kolonel beranggotakan 12 kader PDIP seperti Utut Adianto, Bambang Wuryanto, Hendrawan Supratikno, hingga Masinton Pasaribu.
Setelah muncul istilah Dewan Kolonel beberapa hari kemudian muncul istilah dewan kopral. Dalam militer pangkat kopral merupakan lapisan paling bawah dari struktur kepangkatan
Sementara itu, diberitakan Kompas.com, Jumat (23/9/2022), penggagas Dewan Kopral adalah Ketua Relawan Ganjar Pranowo (GP) Mania Immanuel Ebenezer atau akrab disapa Noel.
Dia menyebut Dewan Kopral berisikan pendukung Ganjar yang akan memperjuangkan Ganjar Pranowo untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden pada pemilu 2024.
Dewan Kopral sebenarnya ada kepanjangannya, yakni Komando Perjuangan Rakyat Jelata. Itu dibentuk sebagai respons adanya Dewan Kolonel bentukan sejumlah elite PDI-P. Dewan Kopral dibentuk untuk mendukung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden.
Namun menanggapi dukungan ini Kader PDIP Ganjar Pranowo justru mengimbau para pendukungnya tetap tenang.
Ganjar mengaku tidak tahu menahu soal kemunculan fenomena Dewan Kopral ini.
Ganjar mengingatkan agar semua pihak menahan diri karena nama capres dan cawapres PDIP adalah kewenagan Ketua Umum PDI-Perjuangan, Megawati Soekarnoputri.
Baca Juga: Megawati Kumpulkan 93 Kepala Daerah PDI-P di Lenteng Agung, Ini yang Dibicarakan
Sekretaris Jenderal PDI-P, Hasto Kristiyanto seperti dikutip Kompas.tv juga mengungkapkan hal senada menanggapi fenomena Dewan Kolonel, dan Dewan Kopral ini.
Mengutip pernyataan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, Hasto meminta agar kader PDIP tidak melakukan dansa-dansa politik jelang pemilu 2024.
Menurut Hasto, Ketua Umum meminta semua kader untuk fokus bekerja dan bersabar menanti nama capres cawapres dari Ketua Umum PDI Perjuangan.
Penggunaan istilah dewan kolonel, dewan kopral ini seolah mengingatkan kita pada isu Dewan Jenderal pada masa Presiden Soekarno menjelang akhir pemerintahan tahun 1965 silam.
Hanya saja penggunaan istilah dewan jenderal pada masa itu lebih berkonotasi pada isu perpecahan di elite politik khususnya elite militer.
Menurut Moerdiono, dalam buku berjudul Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya, (PT Ghalia Indonesia, Jakarta: 1994), halaman 61 menceritakan, isu Dewan Jenderal ini menjadi polemik paling panas yang bergulir pada Mei 1965.
Ia menyebut Isu Dewan Jenderal ini muncul dan di hembuskan oleh kader-kader Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam rangka mendiskreditkan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia khususnya TNI-AD.
Baca Juga: Hasil Survei Pemilih Muda CSIS Capres 2024: Ganjar, Prabowo dan Anies, Siapa Unggul?
Moerdiono menyebut isu Dewan Jenderal ini sengaja diciptakan oleh Biro Khusus PKI sebagai bahan perang urat syaraf untuk membuat citra buruk terhadap pimpinan TNI-AD di mata masyarakat. Selain itu Isu Dewan Jenderal disebarluaskan melalui anggota-anggota PKI yang aktif bekerja dalam berbagai lingkungan.
Senada dengan pendapat Moerdiono, Agus Salim, dalam buku berjudul Seri Biografi Tokoh Jenderal Besar Abdul Haris Nasution : Bapak Angkatan Darat dan Pemersatu Bangsa terbitan Intimedia Ciptanusantara Jakarta (2005) halaman 70-71 menyebut, Dewan Jenderal yang ini diisukan PKI ini terdiri dari para Jenderal TNI AD yang tidak sependapat dengan berbagai kebijakan dari Presiden Soekarno.
Bahkan PKI menyebarkan isu Dewan Jenderal telah mempersiapkan upaya kudeta kepada Presiden Soekarno. Jenderal Abdul Harris (AH) Nasution pun turut dikait-kaitkan dengan isu Dewan Jenderal ini sehingga menyebabkan suhu politik di ibukota saat itu semakin tinggi.
Sementara menurut laporan Tempo.co (04/10/2021) dari hasil wawancara dengan Kolonel Latief, salah satu pelaku peristiwa pada 1965. Latief adalah Komandan Brigade Infanteri atau Brigif I Kodam V Jakarta Raya atau Kodam V Jaya.
Masih mengutip Tempo, Kolonel Abdul Latief sudah punya tiga melati dipundak, namun dalam tim pasukan G30S ia menjadi bawahan Untung yang baru punya dua melati.
Dalam sebuah wawancara yang lain, Abdul Latief mengatakan isu Dewan Jenderal tersebut sudah lama beredar di kalangan perwira muda. Bahkan Latief, mengungkapkan Brigjen Supardjo Panglima Komando Tempur II dalam Komando Mandala Siaga (Kolaga), mengaku punya bukti tentang isu Dewan Jenderal yang melakukan kudeta pada Hari Ulang tahun ABRI 5 Oktober 1965.
Jadi jelas kan, apa perbedaan dewan kolonel, dewan kopral dengan dewan jenderal pada masa lalu.
Mungkin akan lebih elok jika politisi menggunakan istilah seperti simpatisan, relawan dan lain lain yang umum dan agar tidak bikin rancu seolah membuka luka masa lalu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News