kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.180   20,00   0,12%
  • IDX 7.096   112,58   1,61%
  • KOMPAS100 1.062   21,87   2,10%
  • LQ45 836   18,74   2,29%
  • ISSI 214   2,12   1,00%
  • IDX30 427   10,60   2,55%
  • IDXHIDIV20 514   11,54   2,30%
  • IDX80 121   2,56   2,16%
  • IDXV30 125   1,25   1,01%
  • IDXQ30 142   3,33   2,39%

Demi layanan online, UU transportasi harus diubah


Jumat, 25 Maret 2016 / 16:44 WIB
Demi layanan online, UU transportasi harus diubah


Sumber: Antara | Editor: Adi Wikanto

Depok. Pengamat ekonomi Universitas Indonesia Rizal E. Halim menilai solusi yang terbaik atas polemik taksi konvensional dan taksi berbasis aplikasi adalah penataan kembali sistem dan regulasi transportasi secara keseluruhan.

"Jika perlu ke seluruh sektor sekaligus mempersiapkan arsitektur kebijakan yang tepat di tengah arus perubahan," katanya di Depok, Jumat.

Dalam jangka pendek, pemerintah harus sinkronisasi data dengan taksi online untuk memperlancar sistem data transportasi (di samiping izin usaha dan kewajiban pajak). Sedangkan terkait tarif, pemerintah dapat meninjau penerapan sistem tarif bawah yang sudah kuno. 

Taksi konvensional juga perlu untuk berbenah diri dan beradaptasi dengan perubahan zaman. Ini tidak akan memakan waktu lama sepanjang ada keinginan dan keseriusan Pemerintah.

Rizal menjelaskan Grab dan Uber merupakan fenomena yang biasa disebut The Gig Economy atau On-Demand Economy. Model ekonomi ini berkembang pesat dalam 10 tahun terakhir.

Model ekonomi ini mengubah lanskap dan struktur industri yang sudah bertahan beberapa dasa warsa terakhir. Ini bisa kita lihat apa yang terjadi di industri media, industri ritel dan industri lainnya.

"Menentang The Gig Economy sama dengan menentang arus peradaban yang begitu kuat," katanya.

Makanya lanjut dia fenomena Uber juga terjadi di sejumlah negara maju. The Gig Economy juga menghadirkan model pasokan tenaga kerja yang baru, memutus rantai pemusatan sumber daya ekonomi yang selama ini banyak dinikmati pemilik modal besar, membuat industri yang ada menjadi tidak relevan, dan yang menarik adalah model ekonomi ini di lahirkan oleh generasi Y yang melek digital.

Sebenarnya gejala The Gig Economy sudah ada sejak pertama kali diperkenalkannya surat elektronik (E-mail). Kehadiran surat elektronik ini bisa dikatakan menghancurkan bisnis PT Pos Indonesia. Surat menyurat menggunakan jasa pos kemudian banyak ditinggalkan.

Apakah pos kemudian mengeluh kepada para provider surat elektronik? Atau misalnya kehadiran telepon genggam yang berbasis layanan suara menekan pendapatan Telkom khususnya untuk sambungan fix-line. Dan saat ini telekomunikasi berbasis layanan suara terancam dengan hadirnya telekomunikasi berbasis layanan data.

Contoh lain adalah industri ritel seperti Supermarket, Minimarket, Department store, minimarket, dan sebagainya kini diperhadapkan dengan fenomena e-retailing (toko online) yang tumbuh demikian pesatnya.

Dan banyak lagi fenomena The Gig Economy. Menentang The Gig Economy, menurut dia, ibarat melawan arus zaman. Dan ini akan menghasilkan residu yang buruk tidak hanya bagi proses pembangunan tetapi juga bagi sejarah peradaban kita.

The Gig Economy akan terus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi. Perkembangan dunia internet telah membawa kita ke zaman yang sangat berbeda dengan zaman 10,20, 30 tahun lalu. Interaksi menjadi sangat individual dan independen.

(Feru Lantara)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×