kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45914,93   -8,56   -0.93%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dekarbonisasi mendalam pada sistem energi akan membawa manfaat ekonomi yang besar


Senin, 25 Oktober 2021 / 13:41 WIB
Dekarbonisasi mendalam pada sistem energi akan membawa manfaat ekonomi yang besar


Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia telah memutakhirkan komitmen iklim melalui Nationally Determined Contribution (NDC) untuk mencapai netral karbon pada 2060 atau lebih cepat. Komitmen Indonesia yang terlambat 10 tahun dari target Persetujuan Paris dinilai sebagai tanda bahwa pemerintah kurang ambisius dalam menyikapi krisis iklim.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengemukakan bahwa persoalan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) seharusnya tidak dipandang sebagai beban melainkan sebuah kesempatan untuk melakukan transformasi ekonomi menuju ekonomi rendah karbon.

“Berdasarkan kajian kami berjudul Deep decarbonization of Indonesia’s energy system, dekarbonisasi mendalam pada sistem energi di tahun 2050 justru membawa manfaat ekonomi yang lebih besar,” ujar Fabby dalam keterangan resminya, Senin (25/10).

Fabby menambahkan, manfaat ekonomi dapat dirasakan oleh masyarakat melalui terciptanya peluang industri baru  sehingga dapat menyerap tenaga kerja yang lebih besar. Selain itu, harga energi Indonesia akan lebih terjangkau dari pemanfaatan teknologi energi terbarukan yang lebih murah serta udara yang lebih bersih. 

Menurutnya, ambisi iklim yang selaras dengan Perjanjian Paris akan mengurangi ancaman bencana hidrometeorologi sebagai konsekuensi dari meningkatnya suhu bumi melebih 1,5 derajat Celcius.

Baca Juga: Dalam Agenda Pengurangan Emisi, China Tetap Menimbang Ketahanan Pangan dan Energi

Menyoroti kebijakan dan tingkat literasi masyarakat terhadap krisis iklim, para pemimpin  komunitas dalam webinar bertajuk perubahan iklim dan peran publik untuk melestarikan bumi yang diselenggarakan oleh IESR, mengemukakan bahwa kebijakan terkait iklim yang belum terintegrasi serta kurangnya akses informasi tentang perubahan iklim membuat upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia berjalan lambat.

Melissa Kowara, Aktivis Extinction Rebellion Indonesia, tidak adanya deklarasi darurat iklim oleh pemerintah mengindikasikan rendahnya tingkat keseriusan pemerintah dalam menghadapi krisis iklim. "Belum ada sikap tegas dari tingkat tertinggi negara yang mengatakan bahwa kita ada di suatu krisis," ujarnya.

Muhammad Ali Yusuf, Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) mengungkapkan bahwa diskursus keagamaan di Indonesia sendiri masih jauh dari isu ekologis atau perubahan iklim.

“Kalaupun sudah ada, belum masuk isu prioritas utama. Untuk itu, literasi perubahan iklim juga perlu untuk tokoh-tokoh agama sebab kehidupan keagamaan tidak mungkin bisa berlanjut bila terjadi krisis iklim,” jelasnya.

Senada, Jimmy Sormin, Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), mendorong agar para tokoh agama perlu memainkan perannya dalam meningkatkan pemahaman umat terhadap persoalan iklim dengan membahasakannya sesuai konteks lokal.

“Di daerah, dampak perubahan iklim seperti munculnya hama baru, gagal panen, dirasakan oleh masyarakat, namun mereka tidak memahaminya. Perlu  membumikan hal tersebut sesuai dengan perspektif mereka," ujar Jimmy.

Selanjutnya: Tahun 2022 sejumlah PLTU bakal diikutsertakan dalam skema carbon tax dan carbon trade

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×