Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Neraca perdagangan Indonesia terus mengalami defisit. Bahkan, pada bulan Juli 2013 menyentuh rekor tertingginya sepanjang masa.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), defisit neraca perdagangan di bulan Juli menyentuh angka US$ 2,31 miliar. Sementara untuk sepanjang tahun 2013 defisitnya sudah mencapai US$ 5,56 miliar.
Adapun sepanjang tahun 2013 ini defisit neraca perdagangan paling tinggi sebelumnya terjadi di bulan April lalu sebesar US$ 1,7 miliar.
Meskipun secara nilai mengalami defisit, dilihat dari segi volume, neraca perdagangan kita mengalami surplus sebesar 42,87 juta ton pada Juli dan 316,03 juta ton sepanjang tahun 2013.
Deputi bidang Distribusi dan Jasa BPS, Sasmito hadi Wibowo mengatakan, semakin besarnya defisit neraca perdagangan menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara konsumtif.
"Saya pantau sejak tahun 1900-an, konsumsi masyarakat kita akan produk dari luar terus meningkat," ujar Sasmito kepada wartawan Senin (2/9) di Jakarta.
Secara umum, menurut Sasmito, penyebab terjadinya defisit ada dua hal. Pertama, kondisi ekonomi global yang memburuk, membuat harga komoditas ekspor Indonesia anjlok. Kedua, karena pelemahan rupiah yang membuat meningkatnya harga barang impor.
Namun, meski harga barang impor naik tren volumenya masih mengalami kenaikan, karena permintaan dari dalam negeri akan barang impor tidak berkurang.
"Permasalahan Pemerintah adalah bagaimana membuat ketergantungan akan barang impor ini berkurang," ujar Sasmito.
Pemerintah memang dilematis, di satu sisi harus mengerem tingkat impornya. Di sisi lain, permintaan dari dalam negeri akan produk impor tetap tinggi.
Selama ini, tingkat konsumsi masyarakat kita yang tinggi menjadi salah satu penopang utama tingkat pertumbuhan. Menyetop impor sama saja dengan membunuh industri dalam negeri, yang berujung pada perlambatan ekonomi.
Kepala Ekonom Bank Tabungan Negara (BTN) A. Prasetyantoko mengatakan, Pemerintah harus mulai membuat kebijakan yang menekan kebutuhan impor.
Misal, permintaan akan bahan baku industri infrastruktur. Pemerintah harus membuat kebijakan yang menekan permintaan infrastruktur. Begitu juga dengan industri lain, harus sudah mulai ditekan kebutuhannya.
Atau jika tidak, Pemerintah bisa mendorong investasi pembangunan bahan baku Industri di Indonesia. Bila pabrik-pabrik bahan baku industri bisa dibangun di Indonesia, maka tingkat impor bahan baku bisa ditekan. "Bila banyak pabrik bahan baku dibangun, maka meskipun tingkat pertumbuhan tinggi tidak akan membuat impornya turun," kata Prasetyantoko.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News