kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ekonom : Aturan devisa biang kerok nasib rupiah


Senin, 02 September 2013 / 14:00 WIB
Ekonom : Aturan devisa biang kerok nasib rupiah
ILUSTRASI. Kenali Bahaya Bakteri Salmonella pada Kinderjoy


Reporter: Ruisa Khoiriyah | Editor: Ruisa Khoiriyah

JAKARTA. Gonjang-ganjing yang menerpa nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) sekarang ini sudah terbukti telah membikin kondisi perekonomian Indonesia goyang. Instabilitas rupiah tak cuma membuat pusing para importir atau pebisnis yang memiliki sensitifitas tinggi terhadap kurs. Imbas buruk ketidakberdayaan rupiah menghadapi keperkasaan dollar AS mengalir jauh hingga ke masyarakat kelas bawah.

Contoh paling mencolok adalah harga tempe dan tahu yang melonjak. Dua makanan favorit khas Indonesia itu terbilang murah selama ini sehingga menjadi menu andalan masyarakat bawah. Biaya produksi tempe dan tahu meningkat akibat kenaikan harga bahan baku utamanya yakni kedelai. Maklum, Indonesia sejauh ini masih banyak bergantung pada kedelai impor. Dus, dollar AS yang mahal otomatis mengerek biaya produk dua makanan "rakyat" tersebut.

Mengapa rupiah kita begitu rentan dan mudah digoyang oleh "mekanisme pasar"? Aksi para spekulan dan pembawa dana asing jangka pendek alias hot money bisa dengan mudah mengombang-ambingkan rupiah.

Pengamat ekonomi menilai hal itu tidak bisa dilepaskan dari pilihan sistem devisa dan aturan lalu lintas devisa yang dianut oleh negeri ini.

Seperti kita tahu, buntut dari krisis moneter tahun 1997, Indonesia mulai menerapkan sistem devisa bebas melalui Undang Undang Nomor 24 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. UU tersebut juga menjadi bagian dari "paket obat" yang diresepkan oleh International Monetary Fund (IMF), yang ketika itu bertindak laiknya dokter krisis Indonesia.

"Undang-Undang itulah biang kerok yang menjadikan mata uang kita begitu rentan dan mudah digoyang dana asing. Sudah seharusnya pemerintah dan DPR menimbang untuk mengkaji ulang relevansi beleid tersebut," tandas Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Muhammad Doddy Arifianto, dalam obrolan dengan KONTAN, pekan lalu.

Doddy menilai, keberadaan UU itu membuat otoritas, dalam hal ini pemerintah dan Bank Indonesia (BI), tidak leluasa dalam menjaga nilai tukar sendiri. Kondisi tekanan rupiah saat ini, sebagai contoh. Jika UU tersebut sedikit membatasi masyarakat dalam memiliki dollar AS, boleh jadi suplai dollar AS di pasar tidak akan seseret sekarang.

Pasal 2 beleid tersebut sebagai misal, menegaskan, setiap penduduk di Indonesia yakni mereka yang tinggal di sini minimal setahun dibebaskan memiliki dan menggunakan devisa. Definisi penduduk di sini adalah semua orang, badan hukum, badan usaha, termasuk para eksportir perusahaan asing, perusahaan lokal, hingga staf diplomatik negara sahabat.

Dengan pasal tersebut, pemilik devisa atau mata uang yang digunakan dalam transaksi internasional, yaitu dollar AS, tidak wajib menjualnya kepada negara. Pemilik devisa bebas menggunakannya untuk apa saja termasuk untuk transaksi perdagangan internasional, transaksi pasar uang dan pasar modal. Dengan bahasa lain, tidak ada kewajiban mengembalikan lagi hasil ekspor (repatriasi ekspor)

Sebagai contoh, ada perusahaan multinasional yang beroperasi di sini dan menyedot sumber daya alam di bumi Indonesia. Perusahaan tersebut mengekspor barang produksinya ke luar negeri dan mendapat pendapatan berupa dollar AS. Aturan UU itu membuat perusahaan tersebut tidak memiliki kewajiban membawa lagi dollar tersebut ke Indonesia. Mereka bebas memarkirnya di perusahaan induk di luar negeri atau di negeri tetangga.

Memang, BI di bawah kepemimpinan Gubernur BI Darmin Nasution telah membuat gebrakan dengan perilisan aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE). Aturan itu termuat dalam Peraturan BI Nomer 13/20 /PBI/2011 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri. Beleid yang berlaku mulai awal Januari 2012 itu, mewajibkan para eksportir untuk memarkir dollar AS hasil ekspornya di bank devisa di Indonesia. Termasuk kantor cabang bank asing.

Namun, beleid tersebut belum kelihatan hasilnya. Salah satu faktor penyebab aturan baru itu belum terlalu efektif adalah karena instrumen penempatan dollar AS di negeri ini rupanya masih belum banyak tersedia. Akibatnya, bank devisa di dalam negeri yang kebanjiran dollar AS hasil ekspor, banyak yang menempatkannya di instrumen di luar negeri.

Imbas dari situasi tersebut, pasokan dollar AS di dalam negeri tetap saja minim. Ditambah kondisi defisit neraca berjalan yang kian melebar akibat agresifitas impor tanpa diimbangi kinerja ekspor, pasokan dollar AS di pasar beberapa waktu terakhir menjadi teramat sedikit. Tak sebanding dengan permintaan yang terus melejit naik. Jika sudah begitu, hukum pasarlah yang berlaku : rupiah terseok kehabisan daya ungkit dan merosot nilainya.

"Jika UU diibarat baju, seharusnya kita tahu baju mana yang cocok kita pakai di musim tertentu. Jangan memaksakan untuk tetap memakai baju tebal ketika musim panas, dan sebaliknya," ujar Doddy beranalogi.

UU nomor 24 itu menurut Doddy membuat langkah otoritas tidak bisa fleksibel dalam merespon situasi pasar yang membutuhkan respon cepat. "Otoritas tidak bisa serta merta meminta para pemilik dollar AS membawanya ke pasar domestik. Otoritas berisiko dituntut karena tindakan itu tidak ada dasar hukum," jelas Doddy.

Berkaca dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya ketika rupiah begitu mudah terguncang, Doddy menilai, sudah tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk terus-terusan mempertahankan "baju yang sudah tak layak pakai". Terlebih sudah terlihat jelas pelemahan nilai tukar rupiah membawa imbas dahysat hingga ke lapisan terbawah masyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×